REVIEW BOOK: NOVEL THE CATCHER IN THE RYE, BENARKAH BUKU INI DISUKAI PARA PEMBUNUH?

 Judul             : The Catcher in the Rye
Penulis          : J. D. Salinger
Penerjemah : Gita Widya Laksmini
Penerbit        : Banana
Tebal              : 296 halaman


            Pada tahun 1980, Jhon Lennon diberondong empat buah peluru dari senapan milik Mark Champman yang konon saat melancarkan aksi, pria tersebut membawa novel The Catcher in the Rye bersamanya. Sembilan tahun berselang, konon Robert Jhon Bardo pun membawa novel yang sama ketika menghabisi nyawa aktris Rebbeca Scaeffer. Begitu pula dengan Hinkle si pelaku penembakan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, aksinya itu dikatikan dengan novel tersebut. Yang menjadi pertanyaan, doktrin apa yang ditulis oleh J.D Salinger sampai-sampai novel The Catcher in the Rye dikait-kaitkan dengan beberapa aksi pembunuhan, dan sempat dilarang peredarannya oleh Pemerintah Amerika Serikat? Apalagi, buku ini memiliki blurb yang berbeda dari novel atau buku biasanya, karena di belakang kaver, kamu hanya akan menemukan satu deret kalimat “Mengapa novel ini disukai para pembunuh?”

            Mengapa?

    Sejujurnya, setelah membaca novel ini sampai halaman terakhir, aku sama sekali nggak menemukan rujukan, atau trik dan tips dalam melakukan pembunuhan. Sama sekali nggak ada. Bahkan, adegan kekerasan yang digambarkan pun hanya perkelahian remaja antara Holden Caulfield dan teman sekamarnya di asrama sekolah. Jujur saja, aku menunggu-nunggu adegan di mana Holden Caulfield menghabisi dirinya sendiri karena sejak dari halaman pertama aku sudah dibuat frustasi dan lelah oleh penggambaran Holden Caulfield yang diperkenalakan  sebagai anak remaja di bawah umur dengan segudang kegelisahan dan pemikiran aneh dalam kepalanya hanya karena dia merasa frustasi dengan hidup yang bertolak belakang dengan apa yang diinginkannya, namun mau nggak mau dia harus tetap menjalani kehidupan yang sudah kadung berjalan dalam kungkungan segala macam aturan ini. Seems so relate dengan beberapa orang di luar sana, kan? Atau mungkin dengan kamu sendiri? Well… begitulah Holden Caulfield, dia nggak berbeda jauh dengan anak remaja lainnya yang melakukan kenakalan-kenalakan semacam membolos, merokok, main cewek bahkan minum minuman beralkohol. Yang membedakan mungkin, dia terlalau peka, terlalu banyak berpikir, dan amat sangat idealis sampai-sampai dia nggak bisa relate dengan siapa pun, kecuali Pak Antolini dan anak kecil semacam adiknya, Phoebe.
Saat tiba adegan Holden Caulfield bersama Phoebe, kamu akan bisa melihat sisi lain dari laki-laki remaja itu, Holden Caulfield si pengumpat menjelma menjadi seoarang kakak yang lembut dan penyayang, terlihat jelas dia sangat mengagumi adiknya yang cantik dan pintar itu. Saat adegan bersama Phoebe pula, kamu bisa merasakan kalau Holden Caulfield yang dunianya murung dan gelap berubah cerah dan ceria. Karena hanya dengan anak kecil terlebih Phoebe, Holden Caulfield bisa menjadi dirinya sendiri dengan pemikirannya yang nyeleneh (mengingatkan aku pada seseorang sebenarnya, haha), karena menurut Holden Caulfield, anak kecil tuh masih polos, nggak munafik seperti manusia dewasa yang penuh dengan kebohongan.
Sementara, alasan kenapa Holden Caulfield bisa betah berteman dengan Pak Antolini karena menurutnya, mantan gurunya itu merupakan laki-laki cerdas. Holden Caulfield ini memang senang deep conversation dengan seseorang yang wawasannya luas (he reminds me about myself) namun sangat disayangkan, Holden Caulfield memilih menjaga jarak dengan Pak Antolini karena sebuah alasan yang sebetulnya belum bisa dikonfirmasi kebenarannya. BTW, Ada satu wejangan dari Pak Antolini kepada Holden Caulfield yang sampai menuliskan ulasn novel ini, masih aku ingat
“Mereka yang belum dewasa adalah yang bersedia mati demi memperjuangkan satu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia hidup dengan rendah hati memperjuangkan hal itu”—hal 262
Intinya mah, orang dewasa seperti kita terkadang harus menekan ego dengan mulai mau menerima apa yang kita nggak sukai dalam perjalanan mendapatkan apa yang kita inginkan. Eh gini nggak sih?
Lantas, kenapa buku ini disukai para pembunuh? Agak bingung juga, mungkin mereka memandang si Holden Caulfield sebagai representasi dari sebuah kebebasan, di mana seorang anak remaja berani mendobrak norma-norma yang terkadang terlalu munafik dengan berani melakukan apapun yang dia inginkan meski mengancam dirinya sendiri. Mungkin semangat itu yang menjadi alasan atau acuan atau menjadi doktrin bagi mereka yang juga kadung muak dengan segala system yang terkadang hanya menguntungkan golongan tertentu. Sayangnya, semangat itu dieksekusi dengan cara yang salah.
 Sebelum menutup tulisan, aku ada sebuah lagu untuk kamu, dibawakan oleh Green Day yang terinspirasi dari novel The Catcher in the Rye, Who Wrote Holden Caulfield


Selamat malam,
semoga tidurmu nyenyak,
dan Tuhan memelukmu agar sembuh dari segala luka.



Comments

Popular Posts