BOOK'S REVIEW: LAUT BERCERITA (NOVEL FIKSI TRAGEDI)


PS: Ini pengalaman pertamaku me-review novel dengan serius sampai harus dituangkan di blog pribadi. Told ya on my instagram that I am not good at reviewing a book, jadi katakanlah tulisan ini hanya sebagai caraku melunasi hutang pada diri sendiri yang sudah berjanji untuk menulis pengalamanku membaca novel Laut Bercerita dikarenakan baik cerita maupun tokoh-tokohnya masih membekas nggak hanya di kepala tapi juga di rongga dada. Kupikir kalian harus tahu, dan mereasakan apa yang aku rasakan ketika berkenalan dengan Biru Laut beserta teman-temannya.

Boleh bercerita sedikit? Usiaku baru menginjak angka enam ketika suasana Politik-sosial-ekonomi di Indonesia terlebih Jakarta sedang panas-panasnya pada tahun 1998, maka kenangan yang tertinggal di kepalaku selain Bapak yang nggak pulang-pulang ke rumah dikarenakan tugasnya mengharuskan beliau untuk tetap tinggal di Cilincing (saat itu Bapak berdinas di Cilincing sementara kami berdomisili di Cilamaya-Karawang) ya tidak ada. Manalah saat itu kutahu kalau suara Rakyat Indonesia yang menginginkan ‘kebebasan’ tengah diperjuangkan oleh beberapa kelompok pihak terlebih mahasiswa. Barulah di bangku SD kelas 6 dan SMP aku agak sedikit paham dan tahu kalau kejadian pada Mei 1998 Rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan, dan ada beberapa aktivis yang sampai sekarang nggak diketahui keberadaanya alias hilang. Hanya sampai di situ pengetahuanku. Dan, bisa dibilang aku bahkan kamu terlalu apatis untuk mengetahui bahwa ada perjalanan panjang dan banyak hal yang dikorbankan oleh segelintir kelompok jauh sebelum kerusuhan Mei 1998 itu pecah, bahkan sampai saat ini. Dan, Novel Laut Bercerita, bercerita sedikit banyak mengenai hal tersebut.



Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S. Chudori

Desain Kaver : Aditya Putra

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama



BLURB

Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.  (Sumber: Goodreads)

           
            Ternyata bukan hanya kaver yang cantik, tetapi juga gaya bahasana. Mereka nggak njelimet-berat-membuat kening mengerenyit dalam, nggak seringan itu juga, namun mengalir nyata apadanya, terlebih rentetan waktunya jelas. Makadari itu, ketika disambut prolog di awal cerita, aku yakin kalau nggak akan berhenti baca sampai di situ, dan ternyata terbukti. Dengan menampilkan dua sudut pandang tokoh utamanya, yaitu Biru Laut dan Asmara Jati, Mbak Leila S Chudori berhasil membuat pembaca merasa dekat dengan para tokoh bahkan pada bagian Sudut Pandang Biru Laut, aku berhasil merasakan perasan Anjani yang jatuh hati pada seorang aktivis macam Biru Laut 

Membaca kisah Anjani dan Biru Lau itu kayak diaduk-aduk, di beberapa bagian aku masih bisa mesem-mesem, tapi di bagian lainnya aku sampai nangis kejer. Masih melalui sudut pandang Biru Laut, optimisme membara dari anak-anak muda yang menentang Orde Baru karena ingin melihat Indonesia yang berbeda terlihat dari tokoh-tokoh lain seperti Alex, Sunu, Daniel, Kinan, Naratama, dan lain-lain. Dari Sudut pandang Laut juga (yang merupakan korban ) aku kayak diajak menyaksikan langsung ketakutan, dan kengerian Laut berserta teman-temannya ketika mereka diculik, dijebloskan ke dalam sel, diinterogasi, bahkan disiksa. Dan, melalui sudut pandang ini pula, aku merasakan keputus asaan Laut sebagai seorang manusia, ketakutan sebagai seorang anak, kakak sekaligus kekasih jika suatu saat nanti dirinya harus pergi dan tak kembali, namun tak pernah diketahui keberadaanya oleh orang-orang terkasih.

            “Kalau aku sampai diambil dan tidak kembali, sampaikan pada Asmara maafkan aku meninggalkan dia ketika bermain petak umpat… dia akan paham. Aku akan selalu mengirim pesan kepadanya melalu apapun yang dimiliki alam. Dan, sampaikan pada Anjani… carilah kata-kata yang  tidak terungkap  di dalam cerita pendekku…”—hal 226.
            Eh, satu lagi, dari sudut pandang Laut, aku jatuh cinta pada Biru Laut :D
           
            Beralih ke sudut pandang ke dua, Asmara Jati a.k.a adik Biru Laut, sebetulnya jauh lebih menyesakan dada meski dibumbui romantisme Alex dan Asmara. Namun, sudut pandang ini seperti menjadi pelengkap sudut pandang sebelumnya. Dan, kenapa menurutku sudut pandang ini terasa lebih nyesek? Karena di sini aku kayak digiring untuk menyaksikan perasaan orang-orang yang sedang menghadapi gumpalan awan gelap. Semuanya masih abu-abu, belum pasti, nggak jelas, dan masih banyak tanda tanya di kepala keluarga korban.

 Di mulai dari kesedihan orang-orang yang merasa kehilangan, orang-orang yang berusaha terusmenerus menyangkal kalau mungkin saja mereka yang diculik sudah tiada, persis kayak yang dilakukan oleh Bapak dan Ibu Laut, dan karenanya aku merasa mendadak tua membayangkan aku ada di posisi Bapak dan Ibu Laut yang nggak lelah menunggu kemunculan Bocah Lanang-nya Di sudut pandang Asmara ini penulis lagi-lagi berhasil membuatku merasaakn perasaan seorang adik (Asmara) yang kehilangan kakaknya (Laut), dan ini sukses bikin nangis kejer. Di bagian ini juga pembaca digiring untk merasakan bagaimana sakitnya menahan rindu pada orang yang mungkin udah nggak bisa dilihat lagi. Jujur aku ikutan capek dengan banyaknya tanda tanya di kelapa persis tokoh-tokoh itu ketika menghadapi kenyataan kalau hanya sebagian korban yang dibebaskan dan bisa pulang. Kenapa? Kemana yang lain? Apa mereka masih hidup? Jika hidup di mana? Dan jika meninggal di mana jasadnya? Ah ketidakpastian, itu yang dihadapi orang-orang terdekat korban di Novel tersebut. Lantas,  di dunia nyata, sampai sekarang masih ada yang memperjuangkan hak para korban yang hilang dengan melakukan Kamisan di depan Istana Negara.
“Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.”—hal 256

            Jadi, kayak yang aku bilang, kalau paska menutup lembaran halaman terakhir novel ini, Laut dan kawan-kawannya masih terus hidup di kepala ini lengkap dengan pertanyaan bagaimana nasib korban yang hilang? Bagaimana yang ditinggalkan menghadapi hari-harinya? Karena konon katanya (kalau salah mohon dikoreksi) cerita ini ditulis terinspirasi dari kisah nyata. Dan, untuk kamu, review ini mungkin jauh dari harapan, tapi aku berharap ada bayangan meski sedikit sebelum kamu kelak memutuskan untuk membaca novel ini.


Comments

Popular Posts