CERITA RIANI: Nonton Film Laut Bercerita di Sinema Sang Akar.
Oleh: Riani Suhandi
http://cdn2.tstatic.net/solo/foto/bank/images/e-flyer-bincang-novel-karya-leila-chudori_20180104_215520.jpg |
Sudah beberapa kali pemutaran Film Pendek berdurasi 30 menit
yang diangkat dari Novel Laut Bercerita karya Mbak Leila S Cudhori diadakan. Namun,
baru hari ini, tepat tanggal 27 April 2019 aku berkesempatan untuk menyaksikan
film besutan Sutradara Pratita Arianegara tersebut. Menggaet Studi-Sinema Sang
Akar sebagai tempat tayangnya, membuat hariku di Sabtu sore menjelang malam yang
mendung, namun tetap panas khas Kota Jakarta ini penuh Drama.
Diawali dengan drama salah naik kereta. Terjebaklah
aku di dalam gerbong commuter line tujuan
Jakarta Kota-Bekasi, dan baru menyadari kesalahan ketika tiba di Stasiun Mangga
Besar. Mengingat tujuanku adalah Stasiun Tebet, kuputuskan untuk turun di
Stasiun Sawah Besar saja dengan tak henti-hentinya
menghardiki ketololanku yang mendadak muncul akibat diuber waktu. Inginnya sih bisa
langsung naik kereta Jakarta Kota-Bogor, meski kenyataannya aku harus menanti
lebih dari lima belas menit sementara pemutaran film akan dimulai pukul lima
sore, dan jarum jam yang melingkar di tangan kiriku sudah menunjukan angka 16.15.
Well Perfet! Sore yang indah, eh? Belum
lagi langit ikut menambah kegelisahanku dengan mendadak muram. Dan, seolah
semua itu nggak cukup membuat kebat-kebit sendiri, tiba-tiba Dita (teman
nontonku kali ini) mengabari kalau ia masih terjebak kemacetan di Depok. Ya Allah... kayak nunggu dilamar nggak
greget aja. Eeverything is going just to be fine, merapal mantra itu berkali-kali, berusaha meyakinkan
diri sendiri sekaligus teman nontonku itu kalau kita nggak akan terlambat. (Ini
merujuk pada jam karetnya orang-orang kita, jadi aku pede saja nggak akan terlambat)
And
yeah... akhirnya tiba di Stasiun Tebet, mendung pun semakin
nakal, nggk lama Dita yang sudah bebas dari macet dan melanjutkan perjalanan
dari Stasiun Universitas Pancasila pun tiba beberapa menit setelahku (yakin banget
deh kalau dia haus karena kulihat dia sempat berlarian kecil. Hihihi). Demi alasan
kepraktisan alias malas, kami berdua memutuskan untuk naik bajaj saja daripada harus order Grab atau Gojek. Setelah tawar menawar
harga yang terjadi secara kilat dengan si Bapak Bajaj, akhirnya kami pun meluncur ke Sinema Sang
Akar yang bentuk dan tempatnya belum pernah kami lihat atau kunjungai. Jadi, wajar
dong kalau kami dan Bapak Bajaj sempat kebingungan mencari alamat yang dituju
meski sudah mengandalkan GPS di ponsel pintar.
SINEMA
/ STUDIO SANG AKAR.
Salah satu sisi dinding di sudut ruangan Sinema Sang Akar |
Terletak di Jalan Tebet Dalam 1 No 22, sekitar 10-15 menit dari Stasiun Tebet, kami tiba di depan sebuah rumah/bangunan
sederhana yang salah satu dinding di muka depanya dihiasi grafiti atau mural atau apalah itu namanya bertuliskan Studio
Sang Akar dengan cat biru. Ternyata kami nggak telat
dikarenakan diskusi paska pemutaran film pada sesi sebelumnya
masih berlangsung di dalam teater/studio (tuhkan benar), beberapa pun orang masih menunggu, menempati
kursi kayu serta sofa yang tersedia di teras maupun ruang depan dengan latar belakang musik
mengalun dari pengeras suara. Sembari mencerna tempat apa yang sebenarnya aku
datangi itu, aku bersama Dita melakukan resgistrasi ulang karena sudah mendaftarkan
diri sebagai peserta beberapa hari sebelumnya.
Masuk
ke ruangan lebih dalam yang luasnya nggak lebih luas dari ruangan depan, kami memilih sepasang kursi dan meja kayu di sudut untuk diduduki. Selama menunggu giliran menonton pada sesi berikutnya, kusempatkan untuk
melakukan riset kecil-kecilan dengan bantuan Om Google mengenai Sinema Sang
Akar. Rupanya, Studio atau Sinema Sang Akar merupakan kedai kopi sekaligus bioskop mini atau bioskop
alternatif yang sama sekali berbeda dari bisokop komersial pada umumnya. Tempat
yang diresmikan/dikukuhkan/diinisiasi oleh Yayasan Akar Indonesia (YAAI) ini merupakan
wadah yang ditujukan dan terbuka bagi siapa saja, kelompok mana saja, serta
komunitas apa saja yang ingin datang membawa ‘filmnya /karyanya sendiri’ untuk
ditonton secara kolektif dengan suasana yang intim karena teaternya hanya bisa
menampung maksimal 25 orang saja. Menurut om Google juga, tempat ini bukan
untuk sekedar menonton saja, akan tetapi bisa dijadikan wadah diskusi paska
pemutaran film. Jadi,
kalau kamu dan komunitas kamu memiliki film yang ingin ditonton sembari
didiskusikan, kamu bisa memilih tempat ini dengan melakukan reservasi terlebih dulu (kamu bisa menemukan mereka di Instagram maupun Facebook)
Well… riset kecil-kecilanku berakhir
ketika pintu studio terbuka. Orang-orang berhamburan keluar yang di
antaranya adalah Mbak Leila. S. Chudori. Dita yang melihat Beliau terlebih
dahulu pun terkesima, berkhayal bisa mendapatkan giliran berfoto dan meminta
tandatangannya paska pemutaran film pada sesi terakhir nanti. Makadari itu,
kami santai-santai saja menyaksikan orang-orang sibuk mengantri untuk bertegur sapa
dengan Beliau, berfoto, dan meminta tanda tangannya. Sampai
akhirnya sebuah kenyataan menjungkirbalikan kami, semaput meninggalkan kursi
masing-masing untuk mengejar Penulis yang sudah menciptakan sosok Biru Laut dengan tujuan
mengajak kami untuk melawan lupa melalui tulisan-tulisannya itu.
30 MENIT TERASA 30 DETIK
Acara screening
dan nobar sore tadi entah dipanitiai oleh siapa, yang aku tahu ada dua tipe HTM yang bisa kami pilih, bundling1-50k sudah termasuk Cold
Brew Kopi Susu yang rasanya lumayan enak (Mpok Ipeh pasti suk, bundling2-150k
(sudah termasuk minuman tadi, dan Novel Laut Bercerita). Berhubung aku sudah memiliki buku tersebut, dipilihlah bundling-1, dan nggak kecewa sama
rasa kopinya. Nah, sore tadi rupanya ada tiga sesi pemutaran film Laut Bercerita, yaitu
pukul 14.30 / 15.30 / 17.00 WIB. Karena satu dan lain hal kami pun memilih
menonton pada sesi terakhir, datang dengan semangat sembari membawa buku untuk
ditandatangan. Sialnya kami nggak cukup teliti membaca postingan pada akun
instagram Laut Bercerita yang mengumumkan kalau hanya pada sesi pemutaran film ke dua diskusi akan dihadiri oleh Mbak Leila.S.Cudhori, itulah alasan kami berdua sampai
semaput meninggalkan kursi masing-masing untuk mengejar Mbak Leila.S.Chudori
yang terlihat buru-buru hendak pergi. Sempat ragu karena takut mengganggu
waktunya, namun kami memberanikan diri untuk menyapa Beliau, dan memintanya foto bersama.
Well… meski tampak terlihat tengah diburu waktu, Beliau masih mau meladeni kami
dengan ramah, dua jepret kamera ponsel punberhasil mengabadikan kebersamaan kami meski
hasilnya kurang memuaskan.
Tak sampai hati untuk menahannya lebih lama, kami membiarkan Mbal Leila.S.Chudori berlalu, dan melupakan fakta kalau kami gagal mendapatkan tandatangan. (huhuhu syeeedih) Namun, kekecewaan kami berdua lumayan berkurang saat memasuki teater yang luasnya nggak seberapa, cukup nyaman dengan sofa hitam yang empuk meski suhu ruangannya sukses membuat membuat kuku jari kakiku membiru saking dinginnya, tapi tak apalah asal bisa menyaksikan sosok Biru Laut di layar yang lebar.
Tak sampai hati untuk menahannya lebih lama, kami membiarkan Mbal Leila.S.Chudori berlalu, dan melupakan fakta kalau kami gagal mendapatkan tandatangan. (huhuhu syeeedih) Namun, kekecewaan kami berdua lumayan berkurang saat memasuki teater yang luasnya nggak seberapa, cukup nyaman dengan sofa hitam yang empuk meski suhu ruangannya sukses membuat membuat kuku jari kakiku membiru saking dinginnya, tapi tak apalah asal bisa menyaksikan sosok Biru Laut di layar yang lebar.
Tiba saatnya ruangan dimatikan, layar pun mulai menampilkan potongan-potongan behind the scene dan penampakan para pemain serta kru yang terlibat dengan diselingi rekaman wawancara beberapa pemain, sutradara, dan tentunya Sang Penulis. Ketika semua interlde itu berakhir, ini waktu yang kami tunggu-tunggu. Suara Reza Rahadian yang berperan sebagai Biru Laut menjadi pembuka dalam film Laut Bercerita, dinarasikan dari sebuah kegelapan entah di mana, kemudian membawa kita pada pada adegan di suatu tempat penyiksaan yang diikuti oleh serentetan kilas balik kehidupan Biru Laut bersama keluarga, dan Anjani sang kekasih yang diperankan oleh Dian Sastro.
Sejak awal aku tidak berharap kalau film pendek ini bisa sama persis dengan novelnya, itu mah saja sama saja berharap air laut berubah menjadi rasa stoberi. Namun, dalam waktu tiga puluh menit itu sutradara berhasil mengambil intisari dari novel tersebut kemudian divisualisasikan dengan epik oleh Reza Rahadian dan para pemain lain. Meski begitu aku dan Dita merasa cukup puas karena sudah bisa menjadi bagian dari orang-orang yang dibuat melek kalau di luar sana masih ada yang menuntut haknya, masih ada yang ingin mengetahui kejelasan nasib orang terkasih yang sengaja dihilangkan, maka dari itu aku nggak cukup kaget kalau sang sutradara memilih menampilkan adegan Kamisan di menit-menit terakhir yang mungkin saja untuk mengingatkan kita sekali lagi kalau di luar sana masih ada orang-orang yang bergerak demi melawan lupa.
Beberapa dari kamu mungkin sudah mengetahui apa itu, mungkin juga belum. Kalau boleh kuberitahu Kamisan merupakan aksi damai dari para
korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Kamisan di mulai sejak tangga 18 Januari 2007, tempatnya selalu sama yaitu di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis pukul 16.00 sampai 17.00. Dengan membawa payung dan pakaian serba hitam, mereka yang berkumpul membawa harapan kalau suaranya akan didengar. Seyogyanya, sekarang aksi Kamisan nggak hanya berlangsung di Jakarta saja, di
beberapa daerah termasuk Karawang sudah mulai melakukan hal serupa. Kamu bisa
cari lengkpanya seperti apa di Google saja, ya.
Nah, untuk kamu yang belum tahu apa itu novel Laut
Bercerita, kamu bisa baca tulisan ini, dan aku berharap kamu bisa tergerak
untuk ngepoin film-nya juga. Sini. aku beritahu, selain Reza Rahadian yang
berperan sebagai Biru Laut si aktivis kampus yang jago masak, ada Dian Sastro
juga yang berperan sebagai Anjani, dan Ayu Sita sebagai Asmara Jati, dan Lukman Sari yang berperan sebagai intel. Selebihnya
menjadi PR kamu untuk mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam penggarapan film
berdurasi 30 menit itu.
Di akhir tulisan aku mau mengatakan kalau ini bukan review, ini hanya pengalamanku dengan
segala drama sebelum akhirnya bisa duduk di dalam teater yang dingin serta
gelap, kemudian tercubit emosiku sejak awal film sampai lampu teater kembali dinyalakan.
“yang
paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang
lokasi kami; Kami tak merasa pasti apakah kami akan bertemu dengan orang tua,
kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti apakah kami akan
dilepas atau dibunuh; dan kami tidak tahu secara pasti apa yang sebetulnya
mereka inginkan selain meneror dan membuat jiwa kami hancur…” –259 (Laut
Bercerita)
Dan... ini dia penampakan Cold Brew-nya, Sinema Sang Akar yang sukses bikin melek sampai pagi |
Comments
Post a Comment