CERPEN: BIANGLALA



Oleh: Riani Suhandi

http://www.kandhani.net/2013/10/24/hatimu-bianglala-pasar-malam/
 
Di bawah pancaran merah redup rembulan, aku berjalan menembus keriuhan manusia, membiarkan pekikan tawa mereka yang berselimut musik dari pengeras suara berdenging di telinga. Meski sesekali menggerutu ketika tak sengaja mendapatkan sikutan pelan dari mereka yang tengah berlalu lalang menghabiskan Sabtu Malam di pasar malam ini, aku masih tetap bisa menikmati berbagai macam wahana permainan, serta jajaran stand para penjual yang akan berakhir sebagai objek kamera digitalku.
Interaski Laki-laki Asia penjual Cotton Candy merah muda (Arumanis) dan gadis kecil berambut pirang yang kuabadikan kali ini, lantas senyum otomatis mengembang saat kulihat hasilnya. Merasa puas, aku kembali menelusuri lorong panjang terbuka di bawah langit gelap, sampai akhirnya langkah ini berhenti tepat di bawah bianglala raksasa yang tengah berputar tak cukup kencang.
Tak ingin kehilangan momen, aku mengangkat kamera yang tergantung di leher, membidik wahana tersebut untuk menjadi salah satu dari sekain koleksiku. Anehnya, saat kulihat hasil barusan, dan embusan angin musim gugur yang menyentuh kulit membuat bulu kuduk berdiri tegak, kepala ini secara otomatis mendongak menatap bianglala raksasa di depan sana.
Kau ingin kutaklukkan?... Ingin?... Baiklah, kau mendapatkan apa yang kau inginkan.
Itu dialogku dengan diri sendiri sebelum memutuskan untuk menaiki wahana tersebut.
(***)
Anginnya semakin menggigit ketika sangkar burung bianglala yang kutumpaki bergerak menjauhi tanah beserta segala hiruk pikuknya. Akan tetapi, masih saja tanganku gatal hanya untuk sekedar mengabadikan pendaran lampu dan riuh manusia di bawah sana sampai akhirnya tibalah aku di puncak teratas. Rasa takut yang sebelumnya tertidur nyenyak perlahan terusik dan kini menggeliat bangun, membuatku memilih untuk diam sembari merapal doa saja dalam hati dan terus seperti itu bahkan ketika sangkar burungku turun ke bawah untuk kembali naik ke atas dengan kecepata yang tak tanggung-tanggung.
Jeritan penikmat wahana ini saja mulai terdengar mengganggu telinga, sementara dengan
kuat aku berpegangan pada pagar pembatas, sama sekali tak berani membuka mata selagi dinginnya udara semakin kuat menembus coat abu-abuku.
Dingin… semakin dingin… darahku saja seolah membeku. Lantas, hanya dalam hitungan detik kedua telinga ini seakan kehilangan kemampuannya untuk mendengar ketika menyadari kebisingan itu lenyap seolah penghisap debu raksasa dari langit telah menyerap habis semuanya. Terlebih, hidungku kini malah menghidu aroma es seakan badai salju datang lebih cepat. Bahkan, ketika dengan refleks kedua mata terbuka, yang kutemukan hanya pekat. Nyatanya bukan suara-suara itu saja, cahaya pun seolah ikut tertelan kebekuan.
Sambil merasakan napas yang mulai terasa pendek-pendak, kutelan ludah banyak-banyak menahan takut. Cengkaraman pada besi pembatas pun kian erat dengan peluh yang anehnya deras di tengah bekunya udara.
            Dan kini, kuberanikan diri untuk hanya sekedar melongok ke bawah, namun yang kutemukan bukan pemandangan yang sebelumnya kuabadikan, melainkan hamparan batu nisan di tengah pemakaman tua di bawah sorot redup mencekamnya rembulan. Sementara… dia… dia duduk di sana, menempati kursi kosong di depanku di dalam sangkar burung bianglala ini sembari memamerkan wajah seram sepanjang masa dengan rambut lepek tergerai hanya untuk membalas tatapanku.
Kemudian, semuanya terjadi begitu cepat, sampai akhirnya aku mendengar jeritanku membelah langit malam Alaska.
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
            “…”
            “…”
            “…”
            Mimpi buruk… mimpi buruk.” Terengahku paska terbangun karena dering alarm, dan mendapati sepraiku telah basah oleh peluh.
 (***)
Aku merapatkan mantel abu-abu sembari terus berjalan cepat melintasi pelataran sekolah yang diselimuti duan maple kering untuk menuju lorong kelas. Meski musim gugur di Alaska masih akan bertahan sampai beberapa hari ke depan, namun udara sudah semakin terasa dingin
di sini, bahkan aku sampai harus mengosok-gosok kedua telapak tangan hanya untuk mendapatkan secuil kehangatan.
Tiba di depan locker, suara yang sangat kukenal itu terdengar di antara riuh lorong, dan karenanya aku memutar bola mata jengah.
            “Rossaline, aku ingin berbicara denganmu,” Dia Harry, mantan pacarku.
Membuka pintu besi locker, dan mengambil beberapa buku dari dalamya, aku menimpali, Aku pikir tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, semuanya sudah berakhir, Harry!” Sengaja membanting daun pintu locker keras-keras, aku menatap ia tajam sebelum beranjak dari sana untuk kemudian berjalan menyusuri lorong. Namun, bukan Harry namanya jika langsung menyerah, nyatanya dia mengikutiku.
“Kausalah paham, Sayang. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskannya.”
            Sayang? Dia masih berani memanggilku seperti itu setelah apa yang ia lakukan? Refleks kedua kakiku berhenti melangkah, memutar tubuh menghadapnya, dan mendapati mata sejernih samudra itu menatapku. Masih dengan tatapan yang sama seperti dulu, dan hal tersebut membuatku goyah seperkian detik sebelum bayangan malam itu menyeretku kembali pada kenyataan. Malam di mana aku kehilangan seorang kekasih dan sahabat sekaligus karena gadis yang dia pilih untuk mengkhianatiku tak lain adalah Lorry, sahabat sejak kecilku.
            “Aku lebih mempercayai apa yang aku lihat dari pada penjelasanmu!” menudinganya tanpa ampun sampai-sampai kami menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar. Namun, aku tak peduli, sama seperti tak pedulinya aku ketika dia hanya diam di tempat sementara aku kembali berderap meninggalkannya beserta kasak-kusuk sekitar.
            “Aku tak peduli…. Aku tak peduli… aku—eh…” gumamanku berhenti ketika merasakan sesuatu mengikuti. Sayangnya, ketika sekali lagi menoleh ke belakang, dia masih berdiri di sana, menatapku dengan permohonan besar di matanya. Entahlah, mendadak bulu roma meremang, membuatku mengambil langkah lebar-lebar sampai tak sengaja menabrak seseorang di depan pintu kelas.
            Ya, Tuhan!” Aku benar-benar terkejut, “Oh ya ampun, aku benar-benar minta maaf.”
            James, laki-laki berambut tembaga yang kutabrak itu bergeming, hanya saja tatapannya bagai ujung belati bahkan terus begitu sampai dia meninggalkanku mematung seorang diri di ambang pintu.
(***)
            Menjelang sore semua kelas telah usai, dan dua kali dalam sehari aku harus tergopoh-gopoh melintasi lorong hanya demi menghindari orang-orang yang tak ingin kulihat lagi wajahnya meski itu mustahil. Setelah Harry berhasil membuat pagiku kacau, kini soreku ditutup dengan kekesalan karena kemunculan Lorry yang mengikutiku bagai anak burung.
            Sudah kukatakan kalau aku tidak ingin berbicara denganmu lagi, Lorry!” Tegasku tanpa sudi sedikit pun menoleh padanya yang berjalan di belakang.
            “Tapi aku ingin.”
Aku diam, tak peduli apa yang ia ingin katakan.
            “Kau salah paham, mana mungkin aku mengkhianatimu.”
            “Aku melihat apa yang kalian lakuakan!”
            “Itu… itu hanya sebuah kecelakaan, maksudku saat itu aku sedang kacau, kautahu betapa sulitnya kahilangan Jason, kan? Aku sangat mencintainya.” Ia membela diri.
            “Dan kau telah membuatku kehilangan Harry!” Emosiku mulai tersulut.
            “Ross... sampai kapan kau akan seperti ini?”
Langkahku terhenti, menoleh ke belakang “Sampai. Kau. Mati.”
Aku mendengarnya, berdesis bagai ular mengerikan, dan itu aku, suaraku sendiri?
 (***)
            Aku baru saja mengikuti kelas Matematika ketika menyaksikan daun terakhir pohon maple di halaman copot tertiup angin sebelum melayang-layang di udara, dan berakhir bersama daun-daun kering lainnya di daratan. Dengan mengabaikan udara yang kian menggigit, kulintasi lapangan untuk mengikuti kelas berikutnya di gedung berbeda. Sialnya, ketika tiba di lorong, mataku menangkap sosok James dalam balutan sweater hitam, berdiri di depan pintu ruang kepala sekolah, dan terus menatapku dengan tatapan setajam kemarin. Oke, cukup, itu membuatku tak nyaman, jadi kuputuskan untuk mendekatinya saja.
            James, aku merasa tak pernah memiliki urusan denganmu, tapi kenapa kau selalu menatapku seolah aku telah melakukan kejahatan besar?”
            Tanpa kuduga, dan ini jauh lebih menyebalkan, dia malah menampilkan  ekspresi jijik ketika kemudian dia menjawab pertanyaan barusan. “Aku tidak menatapmu, tapi menatap parasit yang menempel di tubuhmu.”
            Keningku refleks mengerenyit, menatapanya heran sekaligus ketakutan. Namun, tak ingin memperpanjang ‘obrolan menyebalkan’ ini, aku memilih menjauh, bergerak menuju toilet di sudut lorong hanya untuk sekedar menenangkan diri. Jadi, setibanya di sana aku langsung membasuh wajah demi mendinginkan emosi karena nyatanya bukan hanya Harry dan Lorry, bahkan James berhasil membuat hari-hariku di sekolah ini semakin buruk meski tak seburuk hari ketika Ayah meninggalkan kami demi perempuan jalang itu.
            Apa sudah menjadi takdirku untuk selalu kehilangan orang-orang yang kusayang?
            Menatap pantulan bayanganku pada cermin di depan, dan seketika lampu di toilet padam begitu saja. Terlonjak kaget, aku buru-buru meninggalkan tempat, melintasi beberapa ruangan termasuk gudang di sudut lain lorong. Sialnya, pintu coklat ber-sign board ‘dilarang masuk’ itu menarik perhatianku, dan dari celahnya aku mencoba mengintip ke dalam, membiarkan aroma apek serta remang cahaya lampu sekian watt yang tergantung di dalam sana menemaniku menyaksikan kejadian yang membuat perut seperti diaduk-aduk. Rasanya seperti dejavu, bayangan Ayah di kamarku tengah bertukar ludah dengan perempuan jalang itu seolah tengah di putar ulang dalam ingatan, namun kali ini Harry dan Lorry sebagai pelakunya dengan matras bekas sebagai alas mereka.
            Mendadak, badai salju datang menerjang hatiku.
(***)
            “Ross, hentikan! Aku tak ingin difoto.”
            Itu Lorry, benar Lorry yang sama dengan yang sore itu mengganggku di lorong seoklah, dan kini dia sedang menutupi wajah dengan kedua tangannya karena tak senang sedari tadi kujadikan objek foto.
            Sore sepulang sekolah, entah mengapa aku ingin sekali menghubungi Lorry sampai-sampai aku refkels menyambar telepon, dan meminta gadis pirang itu untuk bertemu di pasar malam. Tanpa banyak bertanya, dia pun menyanggupi ajakanku dengan girang, Jadi, di sinilah kami berdua, duduk berhadapan di dalam sangkar burung bianglala yang tengah bergerak naik ke atas sebelum kembali turun, membuat tubuh kami sedikit menggigil karena angin terasa begitu
kencang di dalam sini.
            Tak mengindahkan perintah Lorry barusan, aku malah sekali lagi membidikan kamera ke arahnya, dan kali ini dia benar-benar gusar. Katanya. “Ross, kaumenyebalkan sekali, sih!” mencoba merebut kameraku, namun aku bisa menghindar yang malah membuat tawanya meledak. “Ross, aku benci padamu.” Aku yakin dia berusaha untuk terlihat marah, namun malah senyumnya yang pecah.
            “Aku juga menyayangimu, Lorry.” Cibirku, dan dia mendengus saja.
Ross, kau ingat pertemuan terakhir kita di lorong saat itu?”
Sambil mengabadikan pemandangan di bawah sana, aku mengangguk, “Mana mungkin aku lupa.” Kali ini aku menatapnya, dan wajah itu bersemu merah entah karena malu atau kedinginan.
Dia mengangguk, berdehem sejenak, katanya lagi, “Kau percaya tidak jika aku mengatakan kalau sore itu aku seperti melihat orang lain dalam dirimu?” aku mengerenyit, dan memintanya untuk melanjutkan. “Saat itu ada kilatan aneh di matamu, dan kau menatapku seolah kau sangat ingin membunuhku. Itu benar-benar membuatku ketakutan, tauk.” Aku tahu Lorry gugup, namun dia menyembunyiaknnya dengan tertawa lepas. “Tapi… aku yakin kalau saat itu aku hanya terlalu tegang menghadapimu yang malah membuatku berhalusinasi yang tidak-tidak.” Tambahnya lagi, matanya berseliweran kebawah sana.
            Lorry—”
            “Ya?” aku menjadi fokusnya lagi.
Bagaimana kalau itu bukan halusinasi?” tanyaku.
Kerenyitan di dahinya muncul, semakin lama semakin dalam sebelum wajah itu berubah ketakutan, dan jeritannya terdengar di tengah kesunyian.
(***)
            Hari ini salju kembali turun, udara masih sama dinginnya, dan langit kelabu persis kemarin pagi saat sekolah mendengar kabar kalau jasad Lorry diemukan dalam sangkar bianglala. Menurut hasil outopsi, dia meninggal karena serangan jantung, dan itu membuatku sejenak termangu karena selama lebih dari sepuluh tahun mengenalnya aku tak pernah mengetahui kalau gadis malang itu memiliki riwayat penyakit jantung.
Entahlah… aku menggeleng membuang segala kenangan buruk dengan Lorry belakangan ini, merapatkan mantelku dan terus berjalan melintasi halaman sekolah menuju gerbang agar tiba di rumah sesegera mungkin karena saat ini tubuhku terasa lelah seolah telah melakukan pekerjaan berat dengan kepala serta pundak seakan membawa berton-ton batu. Yang kubutuhkan saat ini adalah tidur, berharap akan merasa lebih baik ketika terbangun nanti. Namun, di tengah perjalanan saat aku melintasi deretap pertokoan, aku malah menemukan Harry keluar dari sebuah kedai kopi, dan mata kami bersirobok dalam hitungan detik.
            “Ross, tunggu!” Pintanya ketika aku memilih untuk mengabaikannya dan berjalan lebih cepta menyusuri trotoar.
            “Kenapa kau terus menggangguku, Harry?” sumpah demi apapun kelapaku terasa semakin berdenyut saat ini.
            “Tolong maafkan aku, aku ingin kita seperti dulu,” tandasnya, mencoba menutup jarak denganku. Namun, aku tak peduli, hanya menatapnya sinis. “Ross, sampai kapan kau akan salah paham? Semua yang kau lihat itu hanya sebuah kecelakaan.”
Kecelakaan? Lalu apa yang aku lihat saat itu di gudang sekolah? Kata-katanya membuat amarah yang sudah teredam kembali muncul, memebentuk sekumpulan emosi yang perlahan mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Namun, aku masih terus berjalan mencoba mengabaikan ocehan-ocehan Harry.
“Ross, ayolah.”
            “Kau membohongiku.” Desisku.
            “Ross...”
            “KAU BERBOHONG !!!” Berbalik arah menatapnya, dan kudapati dia mematung di tempat dengan kengerian terpancar dari sepasang samudra itu sebelum memilih meninggalkanku dalam kebingungan dan serangan dejavu yang melibatkanku serta Lorry di lorong sekolah sore itu. Sialnya, dejavu itu kembali berlanjut ketika aku mendengar kabar kematian Harry ke esokan paginya dengan lokasi serta penyebab yang sama seperti Lorry.
            Ada apa?
(***)
Paska kematian Harry, aku semakin kelelahan, seolah ada lintah yang perlahan menghisap habis semua darah, membuat tubuhku melemah dengan serangan sakit kepala akut dan nyeri punggung yang tak terkira
Dan kini, ketika berdiri di depan cermin paska mengguyur tubuh dengan air hangat, aku mendapati sesosok gadis berambut coklat dengan mata biru di depan sana tanpa sehelai benang pun, dan aku menyadari kalau wajahku lebih pucat dari yang seharusnya, belum lagi aku telah kehilangan beberpa pound berat badan padahal sama sekali tidak sedang menajalani program diet. Keanehan itu nyatanya tak berhenti sampai di situ saja, rasanya aku merasa asing dengan diri sendiri seolah ada orang lain yang sudah menguasai tubuhku.
            Terganggu dengan pikiran tersebut, entah mengapa aku ingin memutar tubuh, merubah posisi dan… apa-apaan ini?! Kedua mataku terbelalak ngeri mendapati pantulan bayangan di cermin berupa jejak dua buah telapak tangan yang menghitam di punggungku. Sialnya ketika aku kembali memandang cermin, kilatan wajah asing terlihat, wajah menyeramkan yang tak bisa tergambarkan tampak menggantikan wajahku di sana, membuatku terlonjak ke belakang dan refleks mengiderkan pandangan ke setiap sudut kamar di tengah serbuan rasa takut.
            Aku harus memberitahu seseorang, dan nama James lah yang terlintas dalam kepala.
(***)
“Kau diikuti, Ross. Dia terus menempel padamu seperti parasit karena menyukaimu.” James menjelaskan beberapa saat setelah dia datang untuk menemaniku paska aku menelepon dan memberitahunya apa yang terjadi padaku.
Ah, aku teringat ucapannya di lorong saat itu yang sekarang berhasil membuatku bergidig ngeri. “K-kenapa dia bisa menyukaiku?”
Sambil menyudahi observasinya pada kamera milikku ia menjawab sembari menatap lekat. “Kalian memiliki sejarah yang sama. Kau dikhiyanati oleh ayahmu, pacarmu dan sahabatmu, dia pun mengalaminya.
Aku bergeming menatapnya yang duduk di seberang meja makan, mencerna ucapan lai-laki ini dan mencoba menghubungkannya dengan kejadian Lorry serta Harry. Tak, ayal kesimpulan yang terlintas di kepala membuatku nyaris tersedak ludah sendiri. “A-apa aku—” aku tak sanggup melanjutkan, dan sialnya air mataku mengalir begitu saja, membuat James berinisiatif untuk berdiri, dan berjalan mendekatiku hanya untuk sekedar meremas sebelah pundakku.
Seolah mengetahui apa yang baru saja akan aku katakana, dia pun menganngguk, Ya, dan kau ikut membantunya membunuh mereka.” Menyerahkan kameraku yang sedari tadi ia lihat, dan aku terbelalak ngeri dengan apa yang kulihat di sana.
Lorry dan Harry bersamaku di malam mereka tewas, semua gambar itu, dan keramaian itu, serta wanita menyeramkan yang aku lihat di bianglala itu, semuanya bukan mimpi, dan kini mahluk tersebut menempel di tubuhku!
            “Aku tidak ingat apa yang telah aku lakukan, aku kira semua itu hanya mimpi.” Kini aku tak peduli jika harus menangis terisak di hadapan James, dan seolah dia lahir dengan anugerah empati yang begitu besar, James meraih tanganku untuk digamitnya.
 “Aku akan membantumu, jangan takut.”
Aku mengangguk, mencoba untuk tersenyun, namun setelah itu tubuhku seolah dialiri jutaan kekuatan yang membuat James terpental sampai membentur tembok. Setelahnya aku terperangah, dengan takut menunduk memandangi kedua telapak tanganku yang gemetaran. Apa yang sudah kulakukan? aku kembali menatap James yang sedang berusaha untuk berdiri. Dalam tangis aku meminta maaf padanya, namun semua itu terus berulang, James lagi-lagi tersungkur di atas lantai, aku tidak bisa mengontrol tubuh sendiri.
“James, maafkan aku… aku tidak tahu apa yang terjadi padaku.”
Dan lagi! Kubenturkan ia ke dinding, dalam keadaan antara sadar dan tidak, aku mencekiknya meski tak ingin.
 Kau ingin membantunya? Itu tidak akan terjadi! Rosseline milikku!Suara asing itu berasal dari mulutku selagi aku terus mencekiknya sebelum merasakan sesuatu membelit leher.
Rupanya James berhasil mencekikku, dan mengambil alih situasi, membuatku tersungkur di lantai sebelum merasakan aliran panas menjalari tubuh. Yang kuingat hanya bisa kulakukan adalah meronta-ronta sementara kedua telinga kembali mendengar jeritan mahluk tersebut sampai pada akhirnya tubuhku terasa lebih ringan ketika ‘parasit’ itu akhirnya lepas. Belati tajam James hunuskan padanya, dan kini mataku menyaksikan bagaimana mahluk itu terbakar hingga menjadi abu.
 (***)
Kembali kujadikan bianglala itu sebagai objek kamera sebelum hasilnya kulihat. Tanpa sadar sudut bibirku terangkat di tengah riuhnya manusia sampai terasa pundak ada yang menepuk.
Terperanjat, aku pun menoleh, senyum James langsung terlihat. Katanya ini sudah larut, waktunya untuk pulang, dan aku mengiyakan. Kami akhirnya bergerak, namun baru beberapa jarak saja kaki melangkah, cahaya-cahaya serta keriuhan  sekitar mendadak lenyap di bawah kilatan petir. Kuberanikan diri untuk kembali moleh pada bianglala di belakang sana, jeritan itu kembali terdengar.

*********
Cerpen ini pertamakai dibuat untuk dikirim ke Majalah Story bertahun-tahun yang lalu, namun gagal menembus meja redaksi. Pernah diikut sertakan dalam lomba antology cerpen yang diselenggarakan oleh penerbit indie, namun nggak berhasil berkompetisi dengan cerpen-cerpen penulis lain. Dan, terakhir pernah berharap bisa tayang di akun Wattpad Penerbit Inari, namun tetap nggak berhasil. Jadi, kuputuskan untuk membagi cerita ini di blog dengan kalian supaya cerita ini nggak Cuma terendap dalam file komputer.
Terima kasih atas apresiasinya. Selamat di penghujung bulan.

Comments

Post a Comment

Popular Posts