BOOK`S REVIEW: One Hundred Years of Solitude
WOW! Udah lama juga nggak me-review buku setelah terakhir kalinya aku bercerita sedikit mengenai pengalamanku membaca Novel Laut
Bercerita di blog beberapa bulan lalu. Padahal, setelahnya ada beberapa novel
yang masih kulahap juga termasuk buku NKCTHI yang fenomenal itu. Jujur, sempat
terbesit keinginan me-review buku
tersebut mengingat sebegitu dahsyatnya buku itu sempat mengobrak-abrik isi kepala
dan hatiku (ceileeeh baper cuy). Tapi, melihat semua suara di kepala mengenai
buku tersebut sudah terwakilkan oleh tulisan-tulisan yang berseliweran di
Instagram maupun blog, maka kuurungkan niatan tadi sampai dipertemukan lah
dengan Novel One Hundred Years of
Solitude yang ditulis oleh penulis asal Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, yang
kalau nggak salah sih pertama kali diterbitkan pada tahun1967 (kamu cek lagi ya
kevalidannya).
Let’s see what I’ve got
Judul :
ONE HUNDRED YEARS OF SOLITUDE
Penulis : Gabriel Garcia Marquez
Total Halaman :
488 hlm
Harga : 132k
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang
akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu
sekali, ketika diajak ayahnya melihat es.
Riuh rendah pipa dan drum panci yang berisik mengiringi
kedatangan rombongan Gipsi ke Macondo, desa yang baru didirikan, tempat Jose
Arcadio Buendia dan istrinya yang keras kepala, Ursula, memulai hidup baru
mereka. Ketika Melquiades yang misterius memukau Aureliano Buendia dan ayahnya
dengan penemuan-penemuan baru dan kisah-kisah petualangan, mereka tak
tahu-menahu arti penting manuskrip yang diberikan lelaki Gipsi tua itu kepada
mereka. Kenangan tentang manuskrip itu tersisihkan oleh wabah insomnia, perang
saudara, pembalasan dendam, dan hal-hal lain yang menimpa keluarga Buendia
turun-menurun. Hanya segelintir yang ingat tentang manuskrip itu, dan hanya
satu orang yang akan menemukan pesan tersembunyi di dalamnya...
Pertama
kali melihat buku ini adalah dari instastory
Mbak Leila S.Cudhori (PR kamu untuk mencari tahu siapa beliau) yang mengunggah
ulang post salah satu akun instagram pembacanya mengenai buku One Hundred Years
of Solitude, konon buku ini disebut-sebut dalam novel Laut Bercerita. Aku yang
lupa-lupa ingat pernah menemukan buku
One Hundred Years of Solitude di novel tersebut kadung penasaran, dan langsung
membawanya pulang dari rak buku Gramedia Matraman. Di tengah-tengah keruetan hati
dan pikiran menjelang akhir tahun karena belum juga melihat tanda-tanda akan
dilamar (nggak lagi curhat ini, nggak) aku berhasil menyelesaikan melahap buku ini tadi sore, di dalam kereta
ketika menempuh perjalanan kembali dari rumah (yang akhir-akhir ini nggak
terasa seperti rumah) ke tempat mencari nafkah.
Dan, kamu tahu? Buku ini salah satu buku LUAR
BIASA menurut versiku (nggak tahu deh ya kalau menurut kamu) karena, penulis
berhasil mengajakku memasuki sebuah kota imajiner bernama Macondo yang
dideskripsikan di awal halaman merupakan sebuah kota tenang yang terasing di
tepi sungai jernih dan berawa-rawa. Didirikan oleh Jose Arcadio Buendia dan
beberapa kepala keluarga lainnya jauh sebelum hari ini paska mereka
meninggalkan daerah asal untuk sebuah petualangan yang menurutku sih lebih tepat
disebut sebuah pelarian.
Di halaman
9 dituliskan kalau waktu itu dunia masih
sangat baru baginya, sehingga banyak benda yang tidak diketahui namanya, dan ia
harus menunjuk untuk menyatakan maksudnya. Membaca kalimat barusan aku
langsung membayangkan Macondo merupakan kota yang tak tersentuh dunia luar,
terasing, kuno, tertinggal, whatever you
call it, sampai suatu hari orang-orang Gipsi datang dibawah pimpinan
Melaquides (yang di tengah-tengah halaman baru kutahu kalau dia cukup memiliki
peranan penting bagi keluarga Buendia) memperkenalkan penemuan-penemuan dan ilmu pengetahun teranyar
dan tercanggih di jamannya.
Jadi, kalau ditanya buku ini genre-nya apa, aku nggak bisa jawab,
yang aku tahu buku ini lebih dari sekedar buku perang, lebih dari sekedar buku romance, lebih dari sekedar buku magic, lebih dari sekedar buku yang
bercerita mengenai keluaga, dan kemanusian. Buku ini semacam cerita perjalanan hidup
kota Macondo dan keluarga Beundia lintas generasi dengan Ursula (istri Jose
Arcadio Buendia) yang hidup hingga berumur ratusan tahun sebagai saksi
perjalanan kehidupan keturunannya mulai dari anak, cucu cicit sampai buyutnya. Jadi,
jangan heran kalau kamu akan dibawa melewati beberapa fase kehidupan, keadaan serta situasi di
Macondo yang pastinya berubah drastis. Di awali dengan kedatangan kaum Gipsi,
wabah insomnia yang melanda seluruh penjuru kota, bergejolaknya perang antara
orang-orang Konservatif dan Liberal, lahirnya gadis suci tercantik sepanjang
masa yang kemudian terbang ke surga, invansi perusahaan dan budaya asing yang
berakhir dengan pembantaian 3000 orang dan kasusnya lenyap begitu saja, sampai
musim hujan dan kemarau yang berkepanjangan. Semuanya mengalami perubahan,
kecuali sejarah keluarga Beundia yang terus mengalami pengulangan bagai roda yang berputar, juga pengulangan pemberian nama yang itu
lagi itu lagi. Tapi, kamu nggak usah takut bakalan bingung yang sedang
dibicarakan tuh Jose Arcadio yang mana sih, Aureliano yang ini atau yang itu
karena di awal halaman sudah tercetak jelas silsilah keluarga Beundia. Kamu juga
nggak akan tersesat di tengah-tengah cerita karena kepiawaian penulis dalam
bercerita diterjemahkan dengan baik oleh si pengalih bahasa (ayo kita kasih tepuk
tangan untuk Djokolelono)
Ursula ini penggambaran dari sosok Mama-mama
pada umumnya, yang lembut tapi kuat sekaligus, penyayang juga tegas, dan di
tengah kekacauan keluarga serta situasi saat itu, dia masih bisa dan harus
tetap waras agar keluarganya tetap hidup serta utuh. Dia ini ya kayak Mamaku
kayak Mamamu juga mungkin, yang akan mendahulukan kepentingan keluarga di atas
keinginan pribadinya, bahkan dia sampai lupa untuk mengurus dirinya sendiri
karena terlalu sibuk mengurus keluarga. Sedihnya, di usia senja, hidupnya
sesenyap malam. Jadi, kalau kamu tanya siapa tokoh favoritku selain Kolonel
Aureliano Beundia, aku akan menjawab URSULA.
Kamu tahu? Setelah menutup halaman terakhir
buku ini, aku kembali diingatkan kalau ada peradaban terdahulu kita yang
dilenyapkan, dan mungkin kita tinggal menunggu giliran saja, menjadi
kepingan-kepingan sejarah bagi peradaban berikutnya jika memang ada. Menutup tulisan
ini, aku mengutip tulisan di halaman 482, bahwa apa yang tertulis takkan bisa
diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang dikutuk seratus
tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi ini.
Catatna: Novel ini dilabeli novel dewasa (21+) jadi jangan heran
kalau ada adegan-adegan yang cuma boleh dibaca oleh orang dewasa macam kita
(iya aku iya :D). Kamu jangan skeptis dulu, baca aja dulu sih. Yang baik kamu
ambil, yang buruk kamu buang.
Sekali lagi, I am not good at reviewing a book, jadi kalau kamu kebetulan lagi main ke toko buku dan melihat buku yang barusan kamu baca reviewnya, mending kamu beli ya, terus baca supaya kamu tahu bagaimana nasib Macondo beserta keluara Beundia, apakah mereka bisa bertahan atau lenyap ditelan jaman. Pokoknya baca apa aja deh yang penting kamu baca, aku senang tauk kalau kamu baca, asal jangan baca perasaan aku aja, nggak akan bisa. :D
Eh, selain di sini, aku bisa ditemukan di blog aku bisa ditemukan di Instagram.
Mantav soul
ReplyDeleteYay!!
ReplyDeleteI'VE READ IT. THOUSAND TIMES. ❤❤❤
ReplyDelete❤❤
Delete❤❤
Delete