CERITA RIANI: WE ARE BEAUTIFUL NO MATTER WHAT
NOTE: Aku pernah memposting tulisan ini di blog terdahulu,
namun berhubung lupa password, dan nggak pengin ribet me-reset-nya, kuputuskan
untuk membuat ‘rumah’ baru untuk semua
tulisan. Dan, kali ini aku mau memposting ulang dengan segudang revisi ‘pengalaman’
akunya dengan anorexia yang kuidap beberapa tahun lalu. Untuk ‘pengikut’ di
blog terdahulu mungkin pernah membacanya, dan bagi kalian yang batu pertamakali
baca, I suggest you to have an open mind
while reading this writing.
AKU DAN ANOREXIA
Kamu
pernah mendengar apa itu anorexia? Kalau kamu mengetikan kata tersebut di laman
pencarian, yang muncul di Wikipedia mungkin seperti ini: “Anoreksia nervosa (AN) adalah sebuah gangguan makan yang ditandai
dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan rasa takut
yang berlebihan terhadap peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang
menyimpang.” Looks so horrible, isn’t
it? Dan, kamu nggak akan pernah tahu semenyeramkan apa anorexia tersebut
sebelum mengalaminya sendiri. Lantas, apa hubunganku dengan anorexia ini?
Guys, trust me, I was a fat girl who had
black skin, and short hair like Dora
(Euh I hate to spell that name) bagi
yang mengenalku mungkin sudah nggak asing kalau dari kelas tiga sekolah dasar
sampai kelas saru SMP aku tergolong orang dengan berat badan di atas rata-rata.
Nggak heran deh kalau julukan ‘bom-bom’
dilabelkan padaku, and it was nicknamed
by my elder brother. Segemuk itu kah aku? Mungkin dulu akan bilang nggak,
berbeda dong dengan sekarang karena menurutku untuk ukuran anak usia 11-12
tahun dengan tinggi badan yang nggak tinggi-tinggi amat sih berat badan 50kg itu sudah
berlebihan banget. Jujur saja awalnya aku PD tuh dengan kondsi perut buncit,
pipi bapau, dan lengan sebesar tales itu, toh aku sehat-sehat saja, jadi
manalah aku takut kalau harus makan
sampai dua porsi piring atau makan 4 kali dalam seharinya yang ditambah cemilan
ini itu (kalau sekarang sih mana mau).
Sampai… hari itu pun tiba, di mana cinta monyet ternyata berhasil menjangkitku.
Wajarlah ya, seusia itu mulai merasakan gejolak perasaan pada lawan jenis, dan
karenanya aku semcam orang sinting yang disenyumi si dia saja langsung panas
dingin.
Lalu apa hubunganku dengan cinta, dan
berat badan? Banyak! Banget malah. Nah, saking sukanya sama cowok itu (I will never tell you who was that guy)
aku malah jadi minder sendiri mengingat body-ku
yang nggak berbentuk (gitu deh kata mereka), dan tololnya aku malah berpikir
manalah dia akan balik menyukaiku mengingat
kondisi fisikku ketika itu (serius deh, ini pemikiran stupid banget cause, currently I think that loving someone means
accepting all of him/her unconditionally termasuk bentukan fisiknya. Tapi,
herannya seminder apapun aku masih belum merasa terganggu dengan berat badanku
saat itu, jadi hobi makan, nyemil dan masa bodo dengan penampilan masih menjadi
kebiasaan.
Namun,
rupanya semesta menggariskan kedatangan anak laki-laki sepupuku ke rumah dengan
penampilan baru, kata Orang Sunda mah pangling euy. Bagaimana nggak? Terakhir
kali melihat dia yang berdomisili di Garut itu masih dengan oversize weight, namun kedatangannya
kali itu berhasil membuat hampir semua yang mengenalnya takjub, bahkan Mama
yang biasanya cuek langsung ‘menyerangku’ katanya, “Tuh si itu jadi langsing padahal
dulu gendut.” Dan, kampretnya kakak laki-lakiku ikut nimbrung lengkap dengan
segala ejekannya. Manalah aku tahan ketika itu karena yang ada dalam benak
adalah si dia, kupikir kalau dari keluarga sendiri saja aku mendapat ‘ejekan’
karena berat badanku, kenapa orang lain harus nggak melakukannya? Jadi, dari
situ lah aku membulatkan tekad dan niat untuk DIET! Dan, bersyukur keluargaku
mendukung.
Hell yeah, Diet dimulai saat menginjak
semester dua di kelas satu SMP, dan nggak gampang, lho, ternyata mengalahkan
nafsu makan yang masih meledak-ledak dan ditambah harus olah raga.
Minggu-minggu awal rasanya pengin menyerah saja, berpikir biarlah gemuk saja
daripada menderita. Tapi, semuanya hanya perkara kebiasaan, dan waktu. Karena,
semakin lama aku semakin menikmati semua prosesnya. Entah dari mengurangi porsi
makan, mengurangi nyemil sana-sini, stop makan malam, dan olah raga
asal-asalannya (asal gerak, asal berkeringat) terlebih setelah satu bulan
berlalu, rupanya tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, berat badanku turun
menjadi 38kg! YAY! Bahkan, teman-teman dan orang-orang sekitar rumah kaget
dengan perubahan fisikku ketika itu.
Euhh… Kamu
pikir aku puas hanya dengan menurunkan berat badan? Nggak, aku masih minderan
(mungkin ini efek yang ditimbulkan oleh bulian-bulian di masa lalu baik verbal,
maupun non-verbal. Baik langsung maupun nggak langsung.) Aku merasa kalau badanku
tuh masih gemuk padahal keluarga, teman bahkan orang-orang sekitar tempat
tinggal mengatakan kalau aku in sudah kurus banget. Ibarat bunga, aku tuh
terlihat layu. Tapi saat itu kedua telinga ku seolah tertutup rapat, nggak mau
mendengar pendapat orang lain cause I
still felt that I was A BIG GIRL WHO NICKNAMED WITH BOMBOM AND DORA! (I hate
Dora seriously), jadi saat itu aku masih diet mati-matian, pernah makan
hanya satu kali sehari, dan itupun hanya dua sendok setiap kali makan. Dan,
yang paling ekstrim aku sempat takut makan hanya karena nggak mau melihat
perutku kembali membuncit. Semakin lama, buka hanya makan saja yang kutakuti,
bahkan untuk minum pun aku nggak mau karena merasa berat badanku akan langsung
bertambah hanya dengan meminum seteguk dua teguk air saja padahal sumpah demi
apapun aku sudah terlihat kurus banget, rok sekolah saja yang biasanya ketat,
ketika itu bisa sampai merosot kalau nggak ditahan sabuk. Did it really happen to me? And the answer was yes. Dan efek
terhadap kesehatan organ tubuhku yang lain juga nggak baik jadinya. Saat itu
kulitu mejadi kering, kukuku rapuh dan telihat membiru, rambut super kering dan
rontok, mata cekung, dan yang terparah adalah aku stop menstruasi selama
setahun. Sampai akhirnya aku jatuh sakit.Sakitnya aku ketika itu jadi semacam tamparan
dari Tuhan agar aku memperbaiki semuanya termasuk pola makan. Long short story, beratbadanku mulai
naik lagi, tapi bukan kembali ke berat badan awal (dan sekarang biasanya stuck
di angka 49-50 dengan tinggi badan yang pastinya jauh lebih tinggi dari tinggi
badan usia 11/12 yang lalu) dan kondisi/penampilanku konon lebih terlihat segar
ketika itu.
Jadi, ketika itu aku mengidap anorexia? Nah, manalah
aku tahu apa itu anorexia ketika itu, yang aku tahu, aku jatuh sakit karena
diet. Namun, nyatanya informasi mengenai anorexia itu datang padaku ketika
memang aku sudah ssaatnya tahu. Jauh setelah aku mengalami fase takut makan dan
minum serta serentetan akibatnya bagi tubuh, acara On the Spot dan Spot Lite
menayangkan kasus anorexia di acara mereka, menerangkan apa itu anorexia
lengkap dengan gejala dan efek-nya bagi tubuh. Melihat tayangan itu kembali
membuka kenangan apa yang telah kualami, dan dari situlah aku menyimpulkan
kalau aku pernah berhubungan langsung
dengan anorexia meski nggak separah gadis yang dibahas di kedua acara tadi.
Jadi,
Apasih Anorexia? (Anorexia Nervosa)
Informasi
ini aku rangkum dari google yang aku tulis ulang dengan bahasa dan pemahamanku
sendiri. Jadi sekali lagi, Anoreksia
Nervosa adalah gangguan makan yang ditandai oleh penolakan makanan, dan bangga
dengan diet—nggak sehat—dibarengi olahraga mati-matian, mengakibatkan berat
badan berkurang sampai ke tingkat membahayakan.
Penderita anorexia sedemikian suksesnya mengurangi berat badan sampai-sampai
membahayakan keselamatan jiwanya. Menurutku (mudah-mudahan benar) Anorexia ini
bukan hanya penyakit fisik, melainkan juga psikis (psikis yang berakibat pada
kerusakan fisik) karena salah satu gejala anorexia adalah ketakutan yang tidak
wajar terhadap kemungkinan mengalami kenaikan berat badan dan kehilangan
kemampuan mengontrol makan. Jadi, bukan hanya takut, Penderita juga biasanya
bisa lepas kontrol terhadap nafsu makan. Dan, seringnya, gangguan
ini muncul pada remaja.
Nggak ada yang salah dengan diet sebenarnya
jika saja diet itu dilakukan dengan alasn
untuk kesehatan atau menjaga berat badan agar tetap ideal, tapi usahlah sampai
mempertaruhkan keselamatan kita, ya. Kalau memang lingkungan nggak bisa
menerima kamu karena penampilan kamu, saatnya kini kamu yang menerima dan
mencintai apa adanya kamu (ini such a
selfreminder, sih). And told ya I got
bullied verbally and non-verbally just because my physical appearance, dan
efeknya dahsyat banget sampai sampai sekarang. So, that’s way I concern about body shaming yang kayaknya sekarang
sering banget kita dengar deh kekuarangan fisik orang malah dijadikan lawakan.
Well…
In this last writing I just wanna say, please stop body shaming. Meminjam caption instagramnya
Puteri Hasanah Karunia, “kalau setiap
bahasa memiliki cara untuk menyapa, mengapa harus bercerita tentang raga?”.
It means that lain kali kalau bertemu
teman yang udah lama nggak bertemu, usalah nanya, “kok gemukan? Ko kurusan? Kok
jerawatan? Atau Kapan nikah? Eh :D karena ada banyak pertanyaan yang bisa
dilontarkan selain bahasan fisik.
Comments
Post a Comment