BEAUTIFUL DISASTER
Dia
Sang Mata Badai
Aku tidak tahu caranya mengekspresikan
perasaan dalam hati, seolah ribuan kembang api tengah melut-letup di langit
malam tahun baru. Terlalu berbahaya jika hanya kupendam, dan satu-satunya cara
yang aku tahu agar aku tidak meledak seperti bom waktu adalah dengan… berdongeng.
Baik, aku bukan pendongeng
ulung, aku hanya seseorang yang senang menghayal sebelum kutungkan dalam
berlembar-lembar kertas kosong di layar netbook. Oh ayolah, bukannya ingin
memperkenalkan diri, tapi entah kenapa jari-jari ini malah menari dengan
melantur
Biarkan aku duduk berdiam diri
sambil kembali mengenang sejumput senyum dari seseorang yang bahkan hanya
mendengar namanya saja selalu berhasil membuatku panas dingin, bisa kukatakan
that he influences me that much, and I still crush on him. I am not that naïve,
but I am just still confuse what I am gonna do to kick my feeling away.
Ayolah… I have to forget that
Rawar disaster dengan alsan, yang pertama dia terlalu berbahaya, berbahaya
untuk siapa? Tentu saja hatiku yang kemungkinan besar bisa dengan mudah dia
porak porandakan, yang kedua karena… aku hanya sejumput bunga liar yang whoever
itu nggak akan tertarik terlebih si Mata Badai yang memiliki nilai dari angka 1
sampai 10 dia berada di angka 15, lalu yang ketiga… adalah kesimoulan dari semua
alasan yang kumiliki, yaitu… aku tak akan pernah bisa menggapai dia yang begitu
berbahaya. Maka, aku mundur, perlahan, meninggalkan badai yang kian hari kian
mengamuk menunjukkan kuasanya. Aku tetap menjadi bunga liar dengan kisahku
sendiri bersama fenomena alam lain.
Sejatinya waktu dapat berlari,
namun tak mampu menghapus apa yang telah tertanam dalam hati bahkan pikiran,
bahkan si bunga liar yang dengan percaya dirinya berkoar-kora telah lepas dari
pengaruh si mata badai kembali bertekuk
lutut ketika mendengar kalau dia sang bahaya akan mendekat. Sejatinya
aku memiliki peluang untuk berlari menjauh, namun selanjutnya aku melah
menemukan dirik tengah mengamati segala pergerakannya, menunggu dengan takada
jaminan kalau dia akan terus mendekat. Selagi si dia yang namanya mampu menggetarkan
hatiku sibuk dengan—mungkin—pikiran bahakan keputusannya untuk mendekat atau
tidak, aku malahi, berdiam diri, dan terus
menungu di antara warna abu-abau yang bagiku ibarat aorora di langit malam Norwegia,
cantik, bahkan hujan bintang ikut meramaikan karena walaupun aku tahu aku
hancur, aku memiliki keyakinan kalau semuanya akan terasa lebih indah jika kami
berjalan melintasi orbit, dan menjelajah system tata surya bersama-sama. AhMembayangkannya
saja mamou membuat wajahku memanas seolah diterpa angina gurun.
Namun, sejatinya hidup ini tidak
selalu menyenagkan seperti anak kecil yang bisa tersenyum lebar hanya karena
bermain bonekabarbie atau dokter-dokteran dengan teman
Sebayanya,
dan hal tersebut menyadarkanku dari mimpi-mipi indah tentang tata surya
bersamanya ketika aku tahu dia lebih memilih menjauh ketimbang pusarannya
mendekat padaku. Bunga liar ini merana, layu di tempatnya bahkan orang tololpun
tahu seharusnya bunga liar ini merasa lega karena terhindar dari bahaya. Aku
merasa sebaliknya.
Sendiri
Bingung
Ingin melupakan
Namun, hal tersebut tak semudah
membuka kulit biji kwaci.
Aku gagal move on.
Perlahan… perlahan… perlahan….
Aku ingin berlari jauh,s edikit
demi sedikit aku berhasil walau harus dengan jatuh bangun.
Dan… namanya tak mampu lagi
menggetarkan namaku.
Aku? Lega? Mungkin saja
Dan semua terjawab ketika aku
tersadar kalau dia akan tetap menjadi dia yang mampu menggetarkan hatiku walau
hanya namanya saja yang terdengar.
Kadang berada di dekat mata badai lebih
aman dibandingkan kita harus berlari menjauhinya.
Namun, tetap saja akan ada luka yang tertinggal.
Hanya dengan sebuah senyuman, tameng yang kubangun rapat-rapat hancur begitu saja.
Selamat datang kembali, aku hanya ingin seperti ini.
Hanya dengan sebuah senyuman, tameng yang kubangun rapat-rapat hancur begitu saja.
Selamat datang kembali, aku hanya ingin seperti ini.
Comments
Post a Comment