FIKSI MINI: PESTA PERNIKAHAN, PAK ALI, DINGIN

Kamu pernah mendengar atau bahkan pernah membaca fiksi mini? Nah fiksi mini ini merupan fiksi yang bahkan lebih singkat dari cerita pendek.
Jadi, ini pengalaman pertama aku menulis fiksi mini. Dua cerita yangberjudul PAK ALI dan DINGIN awalnya ditulis karena aku ingin menguji seberapa besar peluang cerita buatanku membobol pertahanan para Kuratornya Lini Fiksi, namun ternyata aku gagal. Jadilah cerita-cerita tersebtut teronggok di file komputer. 
Berhubung bangun tidur tadi pagi ada cerita yang hidup di kepala aku, dan berontak minta dituangkan padalembar kerja Ms.Word, jadilah kuputuskan untuk menulis fiksi mini yang lain untuk kemudian aku posting di blog ini bersama dua fiksi mini sebelumnya.

PS: I write everything what I wanna  read. Macam kata Novelis Toni Morrison bilang, Bila ada buku yang ingin kau baca tapi buku itu belum pernah ditulis, maka engkaulah yang mesti menulisnya.




PESTA PERNIKAHAN

https://www.rd.com/wp-content/uploads/2018/01/07_Seat_Royal-Wedding-Etiquette-Rules-The-Monarchy-Always-Follows_66686689_MNStudio-760x506.jpg


           

Persis seperti pesta pernikahan impianku.
            Bunga lili putih tersebar dalam vas-vas beling berisi air menghiasi meja beralas putih. White dress code dikenakan oleh tamu undangan sesuai permintaan yang tertera dalam undangan putih minimalis beraroma wangi. Dekorasi cantik pelaminan serba putih di tengah hamparan rumput hijau. Lampion-lampion putih yang mulai menyala temaram pun menyemarakan hari bahagia di bawah senja Kota Bandung yang dingin.
            Kulirik dia, ah pengantin pria tertampan sejagat raya dalam balutan tuxedo putih, senyum sumringah tak lepas dari wajah berbulu halusnya bahkan saat menyalami para tamu undangan yang bergantian menyambangi pelaminan. Seketika hati berdesir hangat, pikiran mengelana pada kenangan yang lalu.
            “Mas, nanti kalau kita menikah aku mau pernikahan kita bertemakan white, ya.” Suatu hari di bawah senja di Kota Bandung. Dia lantas mengiyakan saja sembari meremas jemariku lembut. “Di tengah pekarangan rumah Mamamu yang luas?” aku seperti anak kecil yang ingin dikabulkan permintaannya, dan aku mendapatkan apa yang kumau.
            Menjawil hidungku, katanya. “Apapun yang kamu mau, Princess.”
            Di senja yang sama seperti kala itu pesta pernikahan pun digelar, tamu berbaur menikmati hidangan di tengah udara dingin dan live music, sendok dan piring beradu, gelas-gelas berisi minuman bertebaran di beberapa sudut meja, dan kasak-kusuk itu terdengar sementara ratusan tatapan mata seketika terhujam padaku ketika kuulurkan tangan pada si mempelai pria.
            “Selamat.”
            Dia menerima uluran tanganku, tersenyum berterima kasih atas kehadiranku tanpa ada remasan lembut pada jemari yang dulu selalu kudapatkan darinya. Mendadak… udara Kota Bandung terasa semakin dingin.
            Ini memang persis pesta pernikahan impianku dengannya, namun takdir memilihku hanya menjadi tamu undangan di pesta pernikahannya dengan gadis lain yang menjadikan alasn dia memilih pergi dariku satu tahun lalu.



 _________



PAK ALI

https://s3-ap-southeast-1.amazonaws.com/plukme/upload/media/posts/2018-04/26/1524749468-lelaki-berpeci-yang-tak-kukenal_1524749468-b.jpg




Hujan rintik-rintik, jalan aspal basah. Halaman sekolah masih selengang saat ditinggalkan sore kemarin.

            “Ada kecelakaan, Pak. Rame  banget jadinya.” 

            Pak Ali si penjaga sekolah, menanggapi sapaan basa-basiku dengan mengangguk sekali tanpa berniat membenahi peci miring yang menjdi ciri khasnya.

            Mengamati kerumunan di seberang jalan, aku menyahut. “Kasihan.” Empati mendadak menyerbu batin. Tapi, manusia bisa apa jika Sang Pemilik Hidup menginginkan miliknya kembali?

            “Iya, kasihan.” Suara gemetar Pak Ali menarik perhatian. Lalu, dengan tatapan kosong ke seberang jalan, ia melanjutkan. “Andai tadi Bapak lihat kiri kanan saat menyeberang—” berhenti sejenak untuk menatapku, suaranya kembali terdengar. “Kerumunan itu nggak akan pernah ada.”

Mendadak semua bergerak lambat, menolehku pada kerumunan tersebut. Terlihat lalu lintas ramai, klakson kendaraan bersahutan, pria berseragam polisi mengatur keadaan mencoba mengurai kemacetan karena yang kebetulan melintas memilih berhenti sejenak terlalu penasaran. Bahkan, dari tempatku beridiri terdengar sayup-sayup kengerian mengasihani dua korbannya. Saat suara ambulance meraung dibarengi kemunculannya, orang-orang mulai menyingkir memberi jalan pada dua kantung jenazah kuning yang diangkat, dan terlihat peci hitam terjatuh dari salah satunya.

_______


DINGIN


https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/05/22/23346-kedinginan.jpg



“Jadi, kamar nomer berapa?” suaramu tampak penasaran di ujung telepon.

“Nanti kuberitahu. Penasaran banget, ya, Pah?” aku tersenyum sendiri.

“Banget. Nggak sabar pengin ketemu. Kangen.”

Senyumku semakin lebar, baru tadi pagi kami bertemu sebelum berpisah meningalkan rumah untuk pergi ke tempat kerja masing-masing paska melewati pergumulan hebat malamnya. Dan kini, dia sudah rindu saja.
“Jadi, jangan lama-lama. Aku tunggu, ya, Sayang.”

“Iya__” aku sudah siap mengakhiri pembicaraan ketika mendenger kamu mengatakan sesuatu. “Sayang, pakai yang hitam ya.”

Dia menyukai hitam, dan itu alasanku mengoleksi semua pakaian dalam serba hitam.“Oke, Pah.”
Satu kamar mewah di lantai 7 dengan view Bundaran HI sudah jauh-jauh hari kupesan, minta disediakan Cheese cake kesukannya, sebotol Sampanye dingin, dan taburan kelopak mawar merah di ranjang serta bathtub pada pihak hotel demi merayakan hari ulang tahun ke 35 sayangku. Dan kini, aku membayangkan segala hal-hal yang dapat kami lakukan sembari melewati malam yang panjang serta dingin
Ah dingin… 

Sedingin es-es dalam ember sampanye yang lelehan embunnya meluncur bergantian ke atas permukaan meja karena didiamkan selama berjam-jam. Sedingin cake dengan lilin-lilin tak menyala di atasnya akibat suhu kamar yang distel sedemikian rupa. Sedingin pemukaan sprai putih bertabur kelopak mawar merah yang kududuki, dan sedingin tulang belakangku saat ini selagi tubuh mendadak menggigil. Lalu, kupeluk diri sendiri dengan nelangsa selagi kelip lampu di luar jendela seolah mengejek kalau tak akan pernah ada malam panjang serta panas seperti yang hati dan tubuhku inginkan. Karena, nyatanya sebuah pesan beberapa jam lalu mampu mengacaukan segala harap sebelum aku terduduk diam di tepian ranjang sementara lingeri hitam membalut tubuh di tengah gelap kamar. 

Papa:  Sayang, aku benar-benar minta maaf. Tapi, aku nggak tahu kalau dia pulang  secepat     
ini, dan sekarang aku dalam perjalanan menuju rumah menemui istriku. Maaf.








Comments

Popular Posts