Surat Cinta Untuk Kamu yang Mematahkan Hatiku Tanpa Ragu
when this was been written, I never hoped that you are gonna read this. |
Pagi itu pertamakali aku melihat
kamu yang berjalan dengan tertunduk sementara tangan sibuk bermain ponsel. Aku
yang tak pernah merencanakan untuk menjatuhkan hati pada kamu mendadak
merasakan kalau dunia di sekeliling luntur seperti cat basah tersiram hujan, dan
hanya menyisakan satu garis lurus panjang yang menjadi tempatmu berjalan. Saat
itu, aku percaya kalau Tuhan menciptakan kamu untuk beribu alasan, salah
satunya adalah menjadi penggenap hatiku.
Perasaan ini seperti kecambah, cepat
sekali tumbuh, bahkan aku ketakutan sendiri ketika menyadari kalau kamu
diam-diam sudah menjadi alasanku untuk tersenyum memulai hari. Namun, sejatinya
selalu akan ada seseorang yang diam-diam menyukai,
bukan? Dan salah seorang itu adalah aku yang hanya bisa menatapmu lekat-lekat
dari kejauhan, merekam struktur wajah tegasmu termasuk bulu-bulu halus di wajah
kamu yang menurutku luar biasa seksi untuk kusimpan dalam memori yang bisa
kuputar ulang kapan saja.
Tapi, Tuhan telah menulis skenario
perkenalan aku dan kamu, karena sore itu untuk pertamakalinya kita berdua
berjabat tangan, disaksikan teman-temanku yang tak menginginkan aku hanya
menjadi pecundang dengan memujamu diam-diam. Lantas, kamu berhasil, berhasil
membuatku untuk pertama kalinya melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah
terpikirkan untuk kulakukan pada laki-laki lain, nge-chat kamu, dan berbasa basi busuk yang malah membuatku mengetahui
kalau kamu tak sedingin apa kata mereka, juga tak sedingin yang kulihat selama
ini. Dan, kamu tahu? Malam itu mataku tak bisa terpejam karena jantungku terus
berdebar-debar walau hanya rentetan pesan dengan namamu sebagai pengirimnya
yang kubaca.
Aku seolah berada di atas awan,
yakin perasaanku akan disambut baik olehmu mengingat bagaimana cara kamu membalas
semua pesan-pesan konyolku, bagaimana caramu menyapaku saat tak sengaja bertemu
di tempat yang bahkan tak bisa dibilang romantis.
Namun, seperti ada yang mengganjal,
ah aku ketakutan sebenarnya, takut kalau kamu sudah bersama perempuan beruntung
di luar sana yang berhasil memiliki kamu. Jadi, aku mengiyakan saja ketika ada
yang berbaik hati mau menjadi mata dan telingaku demi mengorek secuil kehidupan
pribadi kamu yang bahkan tak kuketahui.
Dan… kamu ternyata masih sendiri,
membuat bibirku tertarik ke atas saat mendengarnya. Namun di detik berikutnya
senyumku seperti asap rokok yang tertiup angin, menghilang begitu saja saat
mendengar pengakuan tanpa hati sepanjang masa yang katanya meluncur tanpa ragu
dari bibir kamu.
Dia
bertanya pada kamu. “Masih sendiri?”
Saat itu aku membayangkan kamu
menjawab dengan lempengnya. “Ya.”
Dia,
mungkin saat itu terlalu penasaran sehingga bertanya, “Tertarik nggak sama dia?—menyebutkan
namaku..”
Dan, kamu tahu apa yang aku dengar?
Aku mendengar kamu menjawab, “Nggak,” tanpa ragu.
Jadi, apa arti semua keramahan kamu
padaku sejauh ini jika yang kudengar bahkan kamu selalu bersikap dingin pada
perempuan, namun memperlakukanku seperti itu? Ah… aku tak tahu, tak pernah
ingin tahu dengan membiarkan diriku berjuang sendiri mengumpulkan
serpihan-serpihan hati yang kamu patahkan, namun rasa sakit ini mengingatkanku
kalau kamu memang ada, dan akan selalu ada entah dalam pikiranku, bahkan hatiku
yang sudah tak berbentuk.
Untuk kamu yang sudah mematahkan
hatiku tanpa ragu, kamu… aku… dan… tak akan pernah ada kita.
-AKU-
Actually
I wrote this letter in order to join ETERNAL FLAME NOVEL writers’ challenge who
ask the readers to write very romantic letter to the person we adore. The
winner would be announced in the novel’s launching that held on 14 February in
Gramedia Matraman. But, unluckily I wasn’t the champion, so I decided to
publish this letter.
Comments
Post a Comment