CERPEN: SIM UNTUK DANI
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst, diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.
SIM Untuk Dani
Dani
mendadak panik, pagi yang biasanya selalu setenang ia memacu motor Beat merah melintasi jalanan ramai
berubah ketika pandangannya yang terhalang kaca helm mendapati beberapa orang
laki-laki serta perempuan berseragam coklat muda keabu-abuan berjajar di pinggir
jalan, memberhentikan setiap kendaraan roda dua yang melintas di depan mereka.
Masih
di atas motor yang melaju, otak Dani kemudian berpikir keras sembari
mencar-cari celah untuk bisa kabur dari kemungkinan kena tilang. Beruntung, ada
belokan beberapa kaki darinya, membuat seringaian kemenangan tercetak di wajah
manis kapten basket itu. Namun, baru saja ia yakin akan tiba di sekolah dengan
selamat tanpa kehilangan STNK, bahkan mungkin uang jajan, seorang polisi lalu
lintas seumuran—kira-kira—ayahnya yang berseragam lengkap datang mendekat, dan
ia langsung mengerem ketika polisi tadi berhenti tepat di depan Beat kesayangan.
Melakukan
gerakan hormat, polisi yang menurut Dani lebih angker dari kuntilanak di
film-film itu kemudian berkata di antara deru kendaraan sekitar, “Selamat pagi,
Dek.”
Dani
menarik ke atas kaca helm beningnya, lalu dengan kebat-kebit ia menjawab,
“Pagi, Pak.” Bahkan suaranya bergetar, ketakutan, ciri khas orang yang memang
memiliki salah.
“Bisa
saya lihat SIM dan STNK-nya?”
Kedua
tangan Dani meninggalkan setang untuk mengambil dompet dari belakang saku celana
abu-abunya. Alih-alih mengelurkan dua benda yang tadi disebutkan oleh Pak
Polisi, Dani malah menarik selembar uang berwarna biru yang menjadi penghuni
satu-satunya benda persegi empat itu. Mengangkat kepala, takut-takut ia kembali
menatap Pak Polisi yang sebelah alisnya sudah melengkung karena ulah Dani
tersebut. “K-kitanya damai aja ya, Pak?”
Mengerenyit
tak suka, “SIM dan STNK.” Pinta Pak Polisi dengan tegas tak bisa dibantah,
membuat Dani mendesah pasrah sebelum mengelurkan STNK untuk diserahkan, “SIM?”
kata Pak Polisi lagi sambil meniliki STNK di tangannya.
“Ng...
kita damai aja deh ya, Pak.”
Pak
Polisi itu bersidekap, matanya kemudian menjelajahi Dani dari ujung kepala
hingga kaki
sebelum berhenti tepat di mata sipit
cowok itu. “Umurmu berapa?”
“De-delapan
belas, Pak.”
Pak
Polisi berdecak-decak sambil geleng-geleng kepala. “Kamu masih muda, tapi udah
berani main suap. Bagaimana bangsa ini mau maju kalau sebentar-sebentar main
uang untuk menyelesaikan masalah?” Tandasnya. “Harusnya kamu tahu diri. Kalau
nggak ada SIM ya jangan bawa kendaraan. Bukannya apa-apa, ini demi keselamatn
kamu sendiri!”
“Tapi
saya kan pake helm, Pak. Saya aman.” Bantah Dani, dan langsung mengkerut ketika
dipelotoi oleh Pak Polisi.
“Bagaimana
bisa aman kalau motor kamu nggak ada kaca spion seperti ini? Dan itu—” menunjuk
ban motor yang di tunggangi Dani. “Ban kamu bahkan sudah gundul.”
Dani
meringis, diam-diam mengumpati orang di depannya yang kemudian meminta KTP-nya
sebelum mencatat nama Dani pada surat tilang berwarna merah. Lalu, sembari
menyerahkan surat tersebut, Pak polisi menjelaskan. “Silakan kamu datang ke pengadilan,
tanggal dua, jam tujuh untuk mengikuti sidang.” Berhenti sejenak. “Lengkapi
printilan motor kamu juga. Helm, spion, dan pastikan ban kamu nggak gundul.
Keselamatan itu nomer satu. Selamat Pagi.”
Setelah
itu Pak Polisi pun beranjak, menyebrangi jalanan ramai dengan STNK Dani di
tangannya.
(***)
Untuk
ke sekian kalinya shooting Dani gagal,
dan bola orange itu pun menggelinding
di permukaan lapangan tanpa sempat masuk ring,
sementara keringat sudah berhasil membuat seragam basketnya menempel pada
tubuh. Padahal selama ini, tanpa harus mengeluarkan banyak keringat, dirinya
sudah berhasil mencetak score yang
tak bisa dibilang sedikit, dan melihat hal tersebut beberapa kawan satu timnya
hanya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kapten mereka yang katanya
baru kena tilang itu.
Dani
kemudian memilih meninggalkan lapangan setelah melemparkan bola sembarangan,
namun wajah suntuk itu mendadak cerah saat melihat mahluk mungil berseragam
putih abu-abu melintas di koridor. Dengan semangat empat lima ia pun segera
berlari menuju cewek yang sedang didekatinya selama hampir sebulan ini.
“Erika,
hei.”
“Hei.”
Erika menjawab sapaan kakak kelasnya itu dengan malu-malu, lantas menunduk
dalam ketika Dani mulai menyamai langkahnya, dia grogi.
“Mau
langsung pulang?”
Mengangguk.
“Iya, Kak.”
“Aku
antar, yah?” Eh? Erika langsung mengangkat kepala, dan meringis ketika tanpa
sadar tulang keringnya menabrak kursi panjang yang tergeletak di depan sebuah
kelas “Kamunya hati-hati, dong. Ri.” Dani khawatir, sedikit geli juga padahal,
namun demi menjaga perasaan Erika dirinya harus rela menahan tawa.
Erika
jadi malu sendiri, lalu sambil menahan nyeri, ia menyahut. “Kakak kan lagi
latihan.” Menolak membahas insiden tabrakan tadi, Erika memilih menjawab
pertanyaan sebelumnya.
“Latihannya
juga udah, kok. Jadi gimana?”
Cewek
itu menggigiti bibir bawahnya yang tipis, dan sekali lagi meringis ketika
melemperkan pandangan ke balik punggung Dani karena ternyata hampir semua
anggota club basket secara
terang-terangan tengah menonton kebersamaannya dengan Dani. “Akunya mau ke toko
buku dulu, juga sekalian mau nyari kado untuk sepupu. Kakak masih mau antar aku
pulang?”
Dani
mengangguk semangat, “Kita sekalian jalan aja.” Dan, Erika pun setuju.
Setelah menunggu Dani
untuk berganti baju, dan bersiap-siap, keduanya kemudian berjalan beriringan
menuju parkiran. Untuk pertama kalinya mereka jalan bareng karena selama ini
keduanya hanya mengobrol lewat BBM atau di kantin saja, dan untuk pertama
kalinya pula Erika dibuat mengerenyit dalam ketika Dani memintanya membonceng
motor tanpa memberi helm.
“Nggak
ada helm lain, Kak?”
“Cuma
ada satu, Ri.” Dani menjawab sambil menunjuk helm yang sudah membingkai
kepalanya.
“Kalau
gitu kita langsung ketemuan di tempat aja, ya?”
Dahi
Dani ikut berkerut. “Lho, kenapa?”
“Aku
takut naik motor tanpa helm, Kak. Belum lagi nanti kan pasti ada polisi. Terus…
itu—” menunjuk bagian setang, membuat Dani mau tak mau mengikuti arah pandang
Erika. “Nggak ada spion-nya juga.”
“Tapi
aku bakal jagain kamu, kok.”
Erika
tersenyum samar, “Gimana aku bisa percaya sama orang yang bahkan nggak peduli
dengan keselamatannya sendiri.” Heh?? Dani sukses tertohok. “Sampai ketemu di
tempat ya, Kak.” Erika melambaikan tangan, meninggalkan Dani yang masih bengong
di tempat.
Untung gue naksir elo, Ri. Kalau nggak… Geleng-geleng
kepala, Dani lalu menyalakan motornya, memilih untuk menuruti kemaun Erika,
namun paska keliling mall dan makan sembari ngobrol ngalor ngidul di food court, Dani memaksa Erika untuk
ikut bersamanya, karena ia harus mengantar cewek itu pulang ke rumah dengan
selamat.
Alih-alih
mengantar Erika pulang dengan selamat sampai rumah, yang dilakukannya malah
mengantarkan cewek itu ke rumah sakit. Padahal Dani sudah membawa motornya
dengan sangat berhati-hati, bahkan ia sudah memberikan sein ketika hendak
berbelok, namun sebuah Vespa malah menabraknya, dan semua itu karena tak ada
spion, sehingga ia tak tahu kalau ada motor lain yang tengah melaju kencang di
belakang. Beruntung kepala Dani terbungkus helm, namun Erika harus mendapat lima jahitan karena keningnya
mencium pemukaan jalan yang keras ketika mereka sama-sama terjatuh di atas
aspal.
Merasa
bertanggung jawab, Dani segera menghubungi kedua orangtua Erika yang belum
pernah ia lihat seperti apa wujudnya itu demi memberitahukan keadaan putri
semata wayang mereka, juga untuk meminta maaf. Dan, tepat ketika ia memapah
Erika untuk menebus obat, dirinya melihat seseorang yang membuat langkah sukses
terhenti sebelum mengaga lebar saat Erika bergumam.
“Ayah.”
Ayah?
Syok, Dani melemparkan pandangannya pada Erika serta laki-laki yang disebutnya
ayah itu secara bergantian, dan yang ingin ia lakukan saat ini adalah
menenggelamkan diri ke dasar Sungai Ciliwung karena ayah sang cewek gebetan
ternyata Pak Polisi yang tadi pagi menilangnya.
“Lengkapi printilan motor kamu juga. Helm,
spion, dan pastikan ban kamu nggak gundul. Keselamatan itu nomer satu.”
“Gimana aku bisa percaya sama orang yang bahkan nggak peduli dengan
keselamatannya sendiri.”
Suara-suara itu
berdenging di telinga Dani, membuat kepalanya berdenyut samar. Bisa dipastikan jalan untuk mendapatkan sang pujaan hati akan
sulit, sesulit ia mengikuti tes pembuatan SIM paska sidang di hari berikutnya.
Ya, akhirnya Dani memutuskan untuk membuat SIM setelah selama ini keukueh kalau
tanpa SIM pun dirinya akan aman, padahal tidak. Selain demi mematuhi peraturan
berkendara, hal itu juga ia lakukan demi memenuhi syarat dari Pak Polisi Ayah Erika yang tak akan
membiarkan sang anak jalan lagi dengannya jika ia belum memiliki SIM. Bahkan
kini, Dani sudah mulai memasang spion lengkap, serta mengganti ban gundulnya
karena keselamatan itu memang nomer satu.
“Jangan berani untuk ajak Erika jalan kalau kamu belum punya SIM, belum
pasang spion, dan ban masih gundul! Jangan lupa bawa helm cadangan karena
keselamatan penumpang pun harus kamu perhatikan. Dan ingat! Dilarang
ugal-ugalan di jalan! Kalau semua syarat itu bisa kamu penuhi, kamu boleh jalan
dengan Erika lagi!”
Mengingat kembali
peringatan dari Pak Polisi yang dilontarkan beberapa hari lalu itu membuat Dani
hanya bisa mendesah pasrah karena hari ini ia
belum lulus tes pembuatan SIM.
“Gagal?”
Dani mengangguk lesu
padahal yang bertanya sedang tak ada di hapadannya, melainkan berada di ujung
telepon yang kini tengah menempel di sebelah telinga. Paska mengikuti tes, Dani
memang langsung menghubugi Erika untuk memberitahu cewek itu hasilnya.
“Nggak apa-apa, Kak. Nanti, kan bisa ikut tes lagi.”
“Tapi kan akunya
pengin ajak kamu jalan, pengin antar kamu pulang juga.”
Erika tergelak di
ujung sana, “Makanya, lengkapi dulu
syarat Ayah.”
“Udah dong, kamu kan
tahu sendiri sekarang motor akunya lebih kece dari yang kemarin-kemarin.”
Lagi-lagi Erika
tergelak. “Ya Tuhan, berikanlah SIM untuk
Dani yang pengin banget jalan sama aku,” Erika malah menggoda, dan yang
digoda ikut tertawa.
(***)
“Selamat
siang, Pak. Erika-nya ada?”
Yang
diajak bicara menyapukan pandangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat
Dani rikuh setengah mati. Tapi, dengan pedenya Dani tersenyum saja karena yakin
kali ini tak akan ada penolakan.
“Ada
di dalam, mau apa kamu kemari?”
“Mau
mengajak Erika jalan, Pak.”
Jawaban
Dani langsung membuat Pak Polisi bersidekap, lalu dengan tatapan menyelidik dia
bertanya, “Kamu sudah punya SIM?”
Tanpa
babibu Dani langsung merogoh saku belakang jean-nya, “Sudah.” menjawab dengan bangga sembari menunjukkan SIM
yang didapatkan kemarin lusa. Akhirnya, setelah berkali-kali gagal dia berhasil
juga mendapatkan salah satu syarat yang diajukan oleh ayah dari sang pujaan
hatinya itu.
Diam
sejenak, mengusap-usap dagunya dengan telunjuk. “Kaca spion?”
“Lengkap.”
“Ban?”
“Sudah
diganti, Pak.”
“STNK?”
“Bawa.”
Dani menepuk-nepuk kantung belakang celana di mana dompetnya bersemayam.
“Helm?”
“Jangan
khawatir, Pak. Seusai perintah Bapak, sekarang saya bawa helm dua kemana-mana.”
Katanya sambil membentuk huruf V dengan jari ketika mengatakan angka dua.
Pak
Polisi manggut-manggut, saat itulah Erika muncul dari dalam dengan jaket di tangan.
“Kok Kak Dani-nya nggak diajak masuk, Yah?”
“Ayah
tahan dulu, siapa tahu dia masih belum memenuhi syarat Ayah.”
Erika
tersenyum lebar. “Sekarang udah, kan?” Pak Polisi mengangguk, “Erika boleh
pergi? Filmnya tayang jam dua soalnya.”
Sang
Ayah tak langsung menjawab, melemparkan pandangan pada Dani dengan tatapan tak
terbaca, membuat yang ditatap maupun Erika sama-sama kebat-kebit menanti
jawaban yang akan terlontar dari bibir Pak Polisi. Namun, detik berikutnya,
mereka berdua menghembuskan napas lega ketika ijin didapatkan.
“Tapi
ingat ya, Dani. Patuhi semua rambu lalu lintas, dan bawa Erika pulang ke rumah
dengan
selamat.”
Dani
mengangguk senang. “Iya, Pak. Saya janji Erika akan pulang dengan selamat.”
Mendengus
kecil, Pak Polisi kemudian membiarkan Dani dan Erika mencium tangangannya
sebelum mereka beranjak, meninggalkan Pak Polisi yang masih mematung di tempat.
Keduanya menjejak lantai teras dengan hati senang, namun tepat ketika tiba di
dekat Beat kesayangan, Pak Polisi kembali bersuara, “Dani!”
Keduanya mematung,
dan keompakkan menoleh ke belakang.
“Jangan ugal-udalan di jalan. Santai aja, yang
penting selamat sampai tujuan.” Berhenti sejenak, “Keselamatan itu nomer satu!”
Dani
pun mengangguk sembari tersenyum lebar sebelum menyerahkan helm pada Erika.
Tamat
Comments
Post a Comment