CERPEN: MEI, SI TOKOH DALAM NOVEL
Pernah nggak sih kamu bermimpi, dan mimpinya itu berasa nyata banget?
Atau pernah nggak sih kamu memipikan sesuatu untuk kemudian menjadi
kenyataan? Pernah kamu memimpikan seseorang yang nggak dikenal kemudian
bertemua dengan orang tersebut dalam dunia nyata di kemudian harinya? Atau
pernah kamu bermipi sebelum mengalami suatu kejadian yang kemudian kamu menyadari
kalau mimpi tersebut merupakan sebuah pertanda?
Ah… cara kerja semesta itu aneh, Sayang. Bahkan perihal mimpi.
Yang aku tulis mungkin fiksi, tapi bisa saja di belahan dunia lain ada
seseorang yang mengalaminya. Bisa jadi kamu, dia, mereka, atau aku. Nggak tahu pati juga, yang aku tahu aku pengin
kamu BACA cerpen ini. Gratis, nggak bayar, nggak diminta ngitung juga. Kamu
nikmati, jangan banyak tanya. Kalau kata si Juki mah Orang-orang kita kalau
nonton film kebanyakan pertanyaan: kenapa begini… kenapa begitu… bla-bla-bla. Makadari
itu, kitanya jadi lupa untu menikmati karya yang sudah tersaji.
Jadi, sekali lagi, malam ini aku Cuma pengin kamu baca, nikmati, ending-nya
kamu sendiri yang buat. Setuju yaaaa
oleh
: Riani Suhandi
https://www.comicartfans.com/gallerypiece.asp?piece=1402061 |
“Mei!!”
Jeritan itu membangunkan Sandy, masih dalam keadaan setengah sadar ia pun bertanya pada Angga yang sudah duduk tegak di
sisinya dengan tubuh berpeluh dan napas memburu. “Kenapa, lo?” ke sepuluh jari tangan itu mengucek-ngucek mata, namun kantuk hebat
enggan membuatnya meninggalkan bantal kesayangan.
Angga menoleh sekilas, namun tak mengatakan apa-apa.
Setelah bangkit untuk menuju
meja sudut kamar, air yang dikucurkannya dari dispenser ke dalam sebuah gelas
bening pun sudah meluncur di tenggorokan. “Mei—” ia menatap cowok keturunan Arab yang masih tergeletak
di kasur lantai. “Dia hadir lagi di mimpi gue.” Dengan gelas dalam genggaman, pandangannya
menerawang, membuat Sandy kesal bukan kepalang.
“Gue beneran takut sama lo, Nyet. Itu cewek kan
fiktif, cuma ada di novel yang lo
baca doang.”
Angga
bergeming, diam-diam membenarkan kalau Mei hanyalah sosok tokoh perempuan Cina dalam novel tua yang ia dapat dari sebuah bazar
buku. Namun, seolah perempuan itu benar-benar nyata, kehadirnyannya yang
berulang dalam mimpi membuat Angga yakin ada pesan di balik semua mimpi
tersebut.
“Tapi, dia nyata banget di mimpi gue,
bro. Sama persis dengan deskripsi penulis dalam novel
itu.” Angga keukeuh, lantas berusaha mengingat seperti apa wujud perempuan itu
sembari menjelaskan pada Sandy. “Mata beningnya, hidung mancungnya, bibirnya,
semuanya,” fokus pada Sandy lagi, “Bahkan rambut sehitam arangnya terasa lembut
saat gue pegang.”
Sandy bergidig ngeri, tak habis pikir kalau sebuah
novel mampu mempengaruhi teman sekamarnya sedalam ini, membuat ia lebih memilih
memiringkan tubuh, menenggelamkan wajahnya di bawah bantal, dan Angga pun
protes karena merasa diabaikan. “Kalau
gila tolong jangan ajak-ajak gue, Nyet. Gue mau tidur aja.” Memejamkan mata,
“Tidur aja deh lo, dan gue saranin untuk stop baca itu cerita daripada elonya
malah berkhayal yang nggak-nggak.”
“…”
(***)
Di hari berikutnya Angga langsung kabur dari kampus
ketika kuliah usai, mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain di
bawah langit sore demi mencari buku referensi proposal skripsi di sepanjang
kios penjual buku bekas murah meriah, mengabaikan suara deru kendaraan di
jalanan padat merayap sembari sesekali menawar harga dengan si penjual sampai
tiga buah buku berhasil digondolnya satu jam kemudian.
Memilih tak langsung pulang ke kosan karena dirinya
akan gatal untuk membaca kelanjutan kisah si Mei dalam novel tua tersebut, yang
akan membuat usahanya selama dua minggu ini untuk mengabaikan cerita tersebut
sia-sia. Jadilah, kini ia duduk bersebelahan dengan seorang ibu berkaca mata
bertubuh gempal yang juga tengah menikmati es dawet ayu, sementara anak gadis
si ibu sibuk bermain HP. Sambil
meresapi rasa manis es tersebut di lidah, Angga diam-diam berterima kasih pada
Sandy karena telah menegurnya untuk berhenti membaca kisah Mei karena sampai
saat ini sosok itu tak muncul lagi dalam mimpi.
“Berapa, Pak?” Angga bertanya setelah dahaganya
hilang, tepat ketika lembayung menggelayuti langit.
“Lima ribu aja.”
Setelah membayar, Angga beranjak dari sana, dan suara
si gadis dengan ponsel yang mengatakan pada ibunya ingin membeli novel salah
satu penulis terkenal Indonesia terdengar, membuat Angga berpikir untuk
menghabiskan penghujung minggu dengan membaca novel.
Kembali berjalan dari gerai satu ke gerai yang lain,
dan napasnya tertahan saat berhenti di depan sebuah gerai, menyaksikan novel
tua bersampul biru laut bertengger di tumpukan buku, sebuah novel yang sama
dengan miliknya di kosan.
“Mei…”
tanpa sadar ia berkata lirih, mengabaikan cubitan tak kasat mata pada hati ketika
teringat akan sosok yang bahkan belum tentu nyata walau di belahan dunia lain.
Ini memang aneh, namun tak ada yang lebih aneh lagi
dari hati yang merasa hampa karena kerinduan, membuatnya kewalahan menghadapi
perasaan tersebut yang terus berlanjut bahkan sampai hari-hari berikutnya
seperti episode sinetron kejar tayang. Mengekang hasrat untuk menyentuh novel tersebut,
Angga memilih mengalihkannya dengan melakukan hal lain. Seperti sore tadi yang
dipakainya untuk mengerjakan proposal di perpustakaan sampai tempat itu tutup,
dan mungkin esok pagi ia akan memulai hari Sabtunya dengan berolahraga.
“Dy, besok pagi
buta bangunin gue, ya?” pinta Angga sembari menghempaskan tubuh lelahnya di atas kasur, lalu
menatap langit-langit dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala, sementara
Sandy yang tengah duduk di depan meja belajar, dan sibuk menyusun latar
belakang proposal skripsi pada laptop menoleh ke belekang sekilas sebelum
menimpali.
“Tumben sih.
Matahari pagi buat lo kan terbit jam setengah delapan biasanya.”
“Mau jogging
gue. Bangunin, ya.”
“Eh, gue juga
ikut deh, siapa tahu ketemu bidadari di jalan.”
Sandy terkekeh sendiri sementara Angga tak menanggapi,
mulai memejamkan mata dengan telinga masih siaga, sementara novel Mei masih
bergeming di tempanya sampai ia benar-benar terjatuh dalam kegelapan.
(***)
Di
awali dengan gelap, kemudian sesuatu yang menyilaukan itu muncul dari arah
Timur, menyingkap setiap penjuru dinding-dinding asing polos yang kini tampak
terang benderang. Takjub, telinga Angga lantas mendengar sayu-sayup seseorang
menyerukan namanya. Angga… Angga… Angga.
Membuat ia menelaah sekeliling, dan terperangah menadapati sosok gadis dalam
balutan Cheongsam merah tak berlengan
berdiri beberapa kaki darinya dengan rambut panjang tergerai tertiup angin
lembut.
“Mei…” antara takjub dan tak percaya, namun senyumnya
muncul begitu saja karena pada akhirnya sosok itu kembali ia lihat. Maju
selangkah demi selangkah untuk menutup jarak, keningnya lantas berkerenyit
samar ketika Mei meyorongkan novel tua dari bazar buku persis miliknya tepat
saat jarak mereka tinggal hanya beberapa kepalan tangan saja. “Ini... ini aku
udah punya.” Mengangkat kepalanya lagi setelah beberapa detik tertunduk
menatapi benda tersebut.
Perempuan yang disebutnya Mei itu tersenyum, membuat
hujan seolah mendadak turun untuk membasahi hati keringnya. Tanpa kata,
jari-jari lentik berkutek merah itu pun membuka lembaran penghujung, seolah
tengah berusaha membantu Angga menyingkap suatu misteri.
Angga semakin bingung, kabut tebal di kepalanya
semakin menjadi mengaburkan pesan yang mungkin ingin Mei sampaikan. Namun, saat
matanya sudah berlama-lama memandangi deret angka yang tertulis pada lembaran
kertas kekuningan tersebut, ia langsung mengangkat kepala, dan meyadari cahaya
sekitar semakin meredup seiring dengan langkah-langkah mundur Mei.
“Mei!” hendak berlari, namun ternyata ada belenggu tak
kasat mata menahan kakinya, membuat ia hanya bisa menyaksikan Mei yang kian
menjauh, turut serta membawa cahaya itu pergi seperti air kolam yang perlahan
surut tersedot pompa. “Mei!” ia berteriak frustrasi di antara kegelapan yang
membayang.
“Mei!”
Suaranya menggema, peluh deras dengan mata menyalang
menatapi langit-langit. Setelah menyadari semua itu hanya mimpi, Angga pun
menghela napasnya yang terengah. Selagi Sandy masih terlelap dalam tidur, ia
lantas bangkit menuju meja belajar, menarik novel tua berkaver biru tersebut
dari tumpukan buku terbawah. Langsung pada halaman terakhir, mata hitamnya pun membeliak
ngeri. Di sana, tertulis deret angka seperti yang dilihatnya dalam mimpi tadi,
membuat tubuhnya mendadak limbung, dan terduduk di kursi kayu reot untuk
merenung. Ada apa? Ia bertanya pada
diri sendiri yang bahkan tak mengetahui jawabannya, makadari itu selanjutnya
Angga sudah meraih ponsel yang tergeletak di atas meja.
Menunggu…
Tanpa sadar Angga sudah menahan napas mendapati kalau
nomer telepon tersebut benar adanya, dan
baru saja seseorang di ujung sana mengucapkan halo padanya.
“H-halo,” suara Angga terbata-bata, kalah oleh
ketakutan, dan keheranan.
“Ya?” suara
lembut di ujung sana menimpali.
“M-Mei?”
Ada jeda sepanjang penantian malam menuju siang
sebelum akhirnya perempuan di ujung sana menimpali, membuat Angga buru-buru
meraih jaket dan kunci motor saat percakapan berakhir. Tak peduli jika matahari
masih mempersiapkan diri untuk muncul ke permukaan satu jam dari sekarang, ia
pun melangkah menuju pintu tepat saat Sandy menggeliat, dan membuka matanya.
“Mau kemana?” suaranya serak, pandangannya masih
kabur.
Sambil memutar gagang pintu, Angga menoleh dengan
novel tua di tangan. “Nemuin Mei—” menggeleng, menunduk sejenak menatap novel
dalam genggaman, lalu menatap Sandy kembali dengan ribuan keyakinan dan harapan
baru dari sorot matanya seolah misteri kemunculan Mei dalam mimpi-mimpinya baru
saja tersingkap.. “Gue mau pergi nemuin pemilik novel ini.”
Dan, kantuk Sandy pun langsung hilang bertepatan
dengan lenyapnya Anggara di balik pintu coklat tersebut.
Comments
Post a Comment